Ia telah mengalami kerja paksa tanpa mendapatkan bayaran gaji selama 9 tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu.
"Selain bekerja di rumah majikan, DB juga dipekerjakan di bengkel mobil milik majikan," ungkap KBRI KL dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/2/2022).
DB melarikan diri dari rumah majikan pada akhir Oktober 2020 karena tidak tahan mengalami kerja paksa lebih dari 15 jam sehari tanpa hari libur dan kekerasan fisik.
Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan, pada 17 Januari 2022 Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
"Keputusan ini tentu sangat mengecewakan dan tidak memberi keadilan kepada korban kerja paksa dan kekerasan fisik selama bertahun-tahun," tegas Dubes Hermono.
KBRI Kuala Lumpur telah meminta Jaksa untuk mengajukan banding atas putusan tersebut.
Melalui pengacaranya, majikan DB pernah mengusulkan penyelesaian di luar persidangan dengan membayarkan gaji yang tidak dibayar.
Namun tawaran tersebut ditolak DB dan KBRI Kuala Lumpur karena jauh di bawah tuntutan gaji yang seharusnya dibayarkan majikan.
Sejalan dengan proses pengadilan pidana di tingkat banding, KBRI Kuala Lumpur telah menunjuk pengacara untuk menuntut majikan DB di peradilan perdata.
"Kami tidak hanya menuntut gaji yang tidak dibayar, tetapi juga bunga dan kompensasi. Ini penting untuk memberikan efek jera kepada majikan," tegas Hermono.
Kasus kerja paksa dalam bentuk tidak membayar gaji, penahanan dokumen, larangan berkomunikasi banyak dialami oleh PMI, tidak hanya di sektor rumah tangga, tetapi juga di sektor lain seperti perkebunan dan manufaktur.
Catatan KBRI
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono menambahkan bahwa Malaysia sedang menjadi sorotan internasional karena dituduh melakukan praktik kerja paksa.
>