Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, TBILISI - Para penentang pemerintah Georgia berusaha menyeret negara itu masuk ke dalam konflik dengan Rusia terkait invasi Ukraina dan mengulangi peristiwa Agustus 2008.
Pernyataan ini disampaikan Perdana Menteri (PM) Irakli Garibashvili pada pertemuan pemerintah Senin kemarin.
"Kami 'sangat akrab' dengan apa yang terjadi di Ukraina, kami mengalami ini jauh lebih awal, pada tahun 2008. Sangat menyedihkan bahwa oposisi radikal kami bersuka cita atas perang di Ukraina dan mencari keuntungan serta kepentingan untuk dirinya sendiri dari semua bencana ini. Tujuan mereka adalah untuk mengulangi tragedi, di mana mereka sendiri gagal melindungi rakyat dan negara kami," kata Garibashvili.
Dikutip dari laman TASS, Selasa (1/3/2022), Garibashvili mencatat bahwa Georgia berkomitmen terus mendukung Ukraina di semua tingkatan, bahkan dengan mengirimkan 100 ton bantuan kemanusiaan pada hari Minggu lalu.
Baca juga: Sempat Dilaporkan Tewas, 13 Tentara Ukraina di Pulau Ular Diduga Masih Hidup dan Ditangkap Rusia
"Pemerintah kami, dalam kemampuannya, melakukan segalanya untuk menawarkan dukungan terbesar kepada saudara dan saudari Ukraina kami, baik itu politik, kemanusiaan, atau dukungan lainnya," tegas Garibashvili.
Kendati demikian, Garibashvili mengulangi keengganannya untuk bergabung dengan sanksi yang dipimpin negara Barat terhadap Rusia.
Seperti yang dicatat olehnya, Georgia selama ini memiliki kerja sama dagang dengan Rusia, dan hampir seluruh penduduk negara itu berpartisipasi dalam proses bisnis ini.
"Ribuan produsen anggur, eksportir, petani kami semuanya terlibat dalam proses ini. Saya ingin mengajukan pertanyaan ini, dalam hal menjatuhkan sanksi, apa yang anda minta saya lakukan? Apakah anda ingin saya menjatuhkan sanksi pada warga saya? Siapa yang akan menderita karena ini? Tentu saja, rakyat kami, populasi, ekonomi akan kehilangan pendapatan, satu juta warga kami akan menderita, misalnya, tidak akan dapat mentransfer uang (dari Rusia)," jelas Garibashvili.
Pada 25 Februari lalu, ia telah menyatakan bahwa pihak berwenang yang dipandu oleh kepentingan nasional, tidak akan berpartisipasi dalam sanksi ekonomi dan keuangan yang didominasi Barat terhadap Rusia karena situasi di sekitar Ukraina.
Setelah membuat keputusan ini, ia pun memicu gelombang kritik dari oposisi, yang menuntut pengunduran dirinya.
Terkait konflik Rusia dan Ukraina, pada 24 Februari lalu, sebagai tanggapan atas seruan dari para pemimpin Republik Donbass, Presiden Rusia Vladimir Putin memutuskan untuk melakukan operasi militer khusus.
Pemimpin Rusia menekankan bahwa rencana negaranya itu tidak termasuk pendudukan wilayah Ukraina.
Kementerian Pertahanan Rusia meyakinkan bahwa pasukannya tidak menargetkan kota-kota Ukraina.
Namun hanya terbatas pada operasi penyerangan dan melumpuhkan infrastruktur militer Ukraina saja.
Tidak ada ancaman apapun yang ditujukan terhadap penduduk sipil.