Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina tidak hanya memperburuk kesengsaraan pada beberapa wilayah di Afrika dan Timur Tengah dalam mendapatkan makanan.
Serangan Rusia ke Ukraina juga merusak persiapan umat Islam dunia untuk menghadapi bulan suci Ramadan dan memaksa mereka beralih pada menu berbuka puasa yang hemat.
Dikutip dari laman France24, Selasa (5/4/2022), dari Lebanon hingga Tunisia dan Somalia, umat Islam yang biasanya berbuka puasa dengan makanan keluarga yang mewah, kini berjuang untuk mendapatkan makanan, bahkan untuk memperoleh kebutuhan pokok yang paling mendasar sekalipun.
Hal itu karena melonjaknya harga makanan dan bahan bakar akibat invasi ini.
Seorang penduduk Jalur Gaza yang diblokade Israel, Sabah Fatoum pun mengeluhkan kenaikan harga ini.
Pihak berwenang Palestina menyebut bahwa harga barang-barang konsumen telah naik hingga mencapai 11 persen.
"Harga tinggi mempengaruhi dan merusak semangat Ramadan. Kami mendengar bahwa harga akan naik lebih tinggi lagi, itu menjadi beban bagi orang-orang," kata Fatoum.
Perlu diketahui, Rusia dan Ukraina memiliki daerah penghasil biji-bijian yang luas dan merupakan salah satu lumbung pangan utama dunia.
Baca juga: Prioritas Bantuan AS Untuk Ukraina Berupa Senjata Javelin, Stinger dan UAV
Lumbung pangan ini menyumbang sebagian besar ekspor dunia dalam beberapa komoditas utama seperti gandum, minyak sayur, dan jagung.
Namun, gangguan arus ekspor akibat invasi Rusia dan sanksi internasional telah memicu kekhawatiran terkait krisis kelaparan global, terutama di kawasan Timur Tengah dan Afrika, di mana efek sampingnya saat ini sudah mulai terasa.
Korban yang paling terkena dampaknya adalah negara-negara seperti Yaman, negara termiskin di dunia Arab, di mana perang yang sebenarnya dimulai sejak 2014 lalu itu telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Harga pangan di Yaman telah berlipat ganda sejak tahun lalu dan fakta bahwa Ukraina memasok hampir sepertiga dari impor gandum Yaman telah meningkatkan kekhawatiran terkait bencana kelaparan yang semakin dalam.
Baca juga: Rusia Tarik Pasukannya dari Ukraina Bukan Karena Menyerah Tapi untuk Siapkan Invasi Skala Besar
Seorang penduduk Sanaa, Yaman, yakni Mohsen Saleh mengatakan bahwa setiap tahun harga melonjak menjelang Ramadan.
"Namun tahun ini, harga telah meningkat dengan cara yang gila, di mana orang-orang tidak dapat menerimanya. Situasi ekonomi sangat sulit, kebanyakan orang di Yaman miskin dan kelelahan," kata Saleh.
Satu hidangan
Di Suriah, di mana konflik negara itu yang berlangsung sejak 2011 silam telah menjerumuskan hampir 60 persen populasinya ke dalam kerawanan pangan, turut merasakan dampaknya tiap menjelang Ramadan.
Ramadan di Suriah, bagi banyak orang telah menjadi pengingat menyakitkan terkait masa lalu yang lebih baik.
Harga minyak goreng naik lebih dari dua kali lipat sejak dimulainya perang Ukraina dan dijual dalam jumlah terbatas.
Pemerintah Suriah yang tidak luput dari statusnya sebagai sekutu setia Rusia, juga menjatah gandum, gula dan beras.
Baca juga: Mengenal Drone Switchblade Si Tank-Killer yang Bakal Dikirim AS ke Ukraina
"Saya pikir Ramadan tahun lalu akan menjadi yang paling hemat, tapi sepertinya tahun ini kami akan menghapus lebih banyak hidangan dari spread kami. Kami tidak mampu lagi membeli lebih dari satu jenis hidangan di meja kami dan saya khawatir di masa depan bahkan hidangan yang satu ini akan berada di luar jangkauan kami," kata Basma Shabani, seorang warga Damaskus berusia 62 tahun.
Ia juga mengingat kembali masa setahun yang turut dirusak oleh pandemi virus corona (Covid-19).
Di Tunisia, tradisi Ramadan juga diuji
Sumbangan makanan di Tunisia merupakan kebiasaan umum yang dilakukan selama bulan suci Ramadan.
Namun pada tahun ini, kebiasaan itu pun telah berkurang.
Karena para mantan dermawan saat ini justru tengah berjuang demi mendapatkan kebutuhan dasar untuk diri mereka sendiri.
Mohamed Malek, seorang mahasiswa sukarelawan berusia 20 tahun, telah mengumpulkan sumbangan makanan Ramadan selama bertahun-tahun.
"Keranjang sumbangan kami biasanya penuh dalam satu jam, namun tahun ini tidak demikian. Beberapa orang bahkan mengatakan kepada kami mari kita cari makanan untuk diri kita sendiri dulu," kata Malek.
Baca juga: Dikelilingi Ranjau, Relawan Ukraina Temukan Mayat di Ruang Bawah Tanah: Kami Beruntung Masih Hidup
Di Lebanon juga, jaringan amal lokal terurai saat krisis Ukraina memberikan lebih banyak tekanan pada populasi yang terpukul keras oleh krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 2019 lalu.
"Solidaritas kuat yang muncul terutama di bulan-bulan seperti Ramadan akan diuji secara dramatis tahun ini. Hiperinflasi dan melonjaknya harga pangan di pasar lokal membuat bulan Ramadan yang telah lama ditunggu-tunggu bagi banyak orang Lebanon menjadi tantangan. Banyak yang akan berjuang untuk membawa makanan buka puasa ke meja," kata Direktur Care International Lebanon, Bujar Hoxha.
Masalah besar
Di Mesir yang merupakan negara importir gandum terkemuka dari negara-negara bekas Soviet, umat Islam 'mengencangkan ikat pinggang' mereka menjelang Ramadan, saat pengeluaran biasanya mengalami peningkatan.
Presiden Abdel Fattah al-Sisi pada Maret lalu memerintahkan pembatasan harga pada roti yang tidak disubsidi, setelah invasi Rusia memicu kenaikan harga hingga mencapai 50 persen.
Mata uang lokal juga kehilangan 17 persen nilainya pada bulan yang sama.
"Kalau dulu ada yang beli sayur 3 kg, sekarang hanya beli satu," kata seorang pedagang kaki lima di Kairo barat, Om Badreya.
Lalu Somalia, yang bergulat dengan pemberontakan dan kekeringan terburuk dalam 40 tahun, juga telah bersiap menghadapi Ramadan yang suram karena kenaikan harga memangkas daya beli dari 15 juta penduduk yang memiliko ekonomi cukup.
Baca juga: Kondisi Muslim Menjalani Ramadan di Ukraina di Tengah Situasi Perang
"Ramadan akan jauh berbeda karena harga bahan bakar dan makanan meroket," kata penduduk Mogadishu, Adla Nur.
Bahkan Arab Saudi yang kaya minyak pun merasa terjepit.
"Semuanya semakin mahal, setiap kali saya membayar sekitar 20 hingga 30 riyal (setara 5 hingga 8 dolar Amerika Serikat) lebih untuk produk yang sama," kata seorang pegawai sektor swasta berusia 38 tahun, Ahmad al-Assad.
Sementara itu, Qatar telah muncul sebagai pengecualian karena pemerintahnya justru menurunkan harga pangan menjelang Ramadan dalam isyarat simbolis.
"Harga lebih dari 800 komoditas telah diturunkan, berkoordinasi dengan outlet-outlet utama di Qatar, mulai dari 23 Maret hingga bulan suci Ramadhan," kata Kementerian Perdagangan dan Industri Qatar.