Myanmar tidak mengikuti konvensi PBB yang melarang penggunaan, penimbunan, atau pengembangan ranjau anti-personil.
Militernya telah berulang kali dituduh melakukan kekejaman dan kejahatan perang selama beberapa dekade konflik internal.
Kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya pada tahun 2017, mengakibatkan sekitar 750.000 orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Seiring dengan itu, muncul laporan pemerkosaan, pembunuhan, hingga pembakaran terhadap Rohingya.
Pada Maret lalu, AS menyatakan kekerasan terhadap Rohingya sama dengan genosida.
Gambia menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional pada 2019, menuduh negara mayoritas Buddha itu melakukan genosida terhadap minoritas Muslim.
Pengadilan yang berbasis di Den Haag itu akan memberikan penilaiannya atas keberatan awal Myanmar terkait kasus tersebut akhir pekan ini.
Baca juga: Menlu RI: Krisis di Myanmar Buat Penanganan Orang Rohingya Jadi Lebih Menantang
Baca juga: Ledakan Bom Terjadi di Dekat Pusat Perbelanjaan Yangon Myanmar, 2 Orang Tewas dan 11 Luka-luka
Myanmar terjerumus ke dalam krisis, setelah militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021.
Pemerintah Aung San Suu Kyi digulingkan dan militer melancarkan tindakan keras terhadap publik.
Sejak saat itu, Myanmar terus diguncang protes massa dan perlawanan bersenjata oleh warga sipil yang kontra terhadap militer.
Bahkan insiden ini juga membangkitkan banyak konflik yang telah berlangsung lama dengan kelompok etnis bersenjata di daerah perbatasan negara itu.
Berdasarkan catatan kelompok pemantau lokal, kekerasan junta telah menewaskan lebih dari 2.000 orang dan membuat hampir 15.000 orang ditangkap.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)