Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, PODGORICA - Pemerintah Montenegro mematikan internet dan komputer di markas besar pemerintah negara tersebut, serta menonaktifkan situs web pemerintah di tengah serangan siber besar-besaran yang terjadi di negara yang terletak di kawasan Balkan itu.
Para pejabat Montenegro menuduh peretas pro-Rusia terlibat dalam serangan siber yang dimulai pada 20 Agustus lalu.
Serangan siber tersebut telah melumpuhkan platform informasi online pemerintah dan menempatkan infrastruktur penting Montenegro seperti perbankan, sistem tenaga air dan listrik ke dalam risiko tinggi.
Baca juga: Data Sering Bocor, Pakar Keamanan Siber: Pemerintah Harus Belajar dari Pengalaman Sebelumnya
Melansir dari Associated Press, para ahli menggambarkan serangan itu sebagai intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya dan termasuk serangan siber terpanjang dalam sejarah Montenegro, yang menjadi salah satu anggota NATO ini.
Menteri Pertahanan Montenegro Rasko Konjevic mengatakan para ahli dunia maya, termasuk tim penyelidik FBI yang dikirim ke Montenegro, menyarankan agar pejabat pemerintah mematikan perangkat komputer untuk alasan keamanan.
“Kami telah menghadapi tantangan serius terkait serangan siber selama sekitar 20 hari, dan seluruh sistem negara, sistem administrasi negara, dan sistem layanan kepada warga berfungsi pada tingkat yang agak terbatas,” kata Konjevic.
Para ahli dari beberapa negara berusaha membantu memulihkan sistem komputer di kantor pemerintahan Montenegro, sembari menemukan bukti siapa dalang di balik serangan siber tersebut, tambah Konjevic.
Pejabat Montenegro mengatakan serangan yang menyerang infrastruktur digital pemerintah Montenegro ini kemungkinan dilakukan oleh kelompok Ransomware Rusia, yang umumnya beroperasi tanpa campur tangan Kremlin selama tidak menargetkan sekutu Rusia.
Kelompok ransomware yang disebut Cuba Ransomware, mengaku bertanggung jawab atas sebagian dari serangan siber di Montenegro. Cuba Ransomware telah menciptakan virus khusus untuk serangan siber yang disebut Zerodate.
Badan Keamanan Nasional Montenegro juga menyalahkan Rusia atas serangan siber tersebut. Rusia memiliki motif kuat untuk mengadakan serangan siber semacam itu, karena Montenegro yang pernah dianggap sebagai sekutu kuat Kremlin, bergabung dengan NATO pada tahun 2017 meski Rusia menentang hal tersebut.
Baca juga: Siber Bareskrim Polri Turun Tangan Usut Peretasan Data Pemerintah oleh Hacker Bjorka
Montenegro juga bergabung dengan sanksi barat yang dijatuhkan kepada Moskow atas invasinya ke Ukraina, sehingga menyebabkan Rusia mencap Montenegro sebagai "negara musuh" bersama dengan beberapa negara lain yang menjatuhkan sanksi.
“Dalam serangan semacam itu, biasanya ada organisasi yang menjadi topeng bagi dinas intelijen negara,” ujar Konjevic.
Menteri Pertahanan Montenegro ini menambahkan, data kementerian pertahanan terkait NATO dilindungi “dengan cara khusus” sementara kemungkinan kebocoran lainnya “sedang diselidiki”.
Serangan siber ini diduga terjadi di tengah upaya Moskow untuk mengacaukan kawasan Balkan dan mengalihkan perhatian dunia dari perang di Ukraina.
Montenegro, yang memisahkan diri dari Serbia pada tahun 2006, saat ini dijalankan oleh pemerintah sementara yang telah kehilangan dukungan parlemen karena kesepakatan curang Perdana Menteri Dritan Abazovic dengan Gereja Ortodoks Serbia yang berpengaruh tanpa persetujuan dari seluruh koalisi yang mendukung pemerintah.
Baca juga: Fenomena Bjorka, Waspadai Ancaman Siber Jelang KTT G20
Sekitar 620.000 penduduk Montenegro saat ini terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama merupakan mereka yang ingin memulihkan hubungan dekatnya dengan Serbia dan Rusia, sedangkan kubu lainnya menginginkan Montenegro melanjutkan jalannya menjadi anggota Uni Eropa.
Sementara negara-negara di Eropa Timur lainnya, yang dianggap musuh oleh Rusia, juga menghadapi serangan siber, termasuk Moldova, Slovenia, Bulgaria, Makedonia Utara dan Albania.