Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Produsen besar altar Buddha Jepang (Butsudan) Alte Meister atau Hoshi Inc. mengakui saat ini pihaknya tengah kekurangan tenaga teknik.
Karena itulah pihaknya menggunakan printer 3D sebagai upaya untuk mengantisipasi tenaga teknik tersebut.
Baca juga: Dewan Audit Jepang Minta Badan Pariwisata Kembalikan Rp 20,9 M Kelebihan Bayar Program GoToTravel
"Memang sulit mencari tenaga teknik pembuatan butsudan saat ini," papar Presiden Alte Meister atau Hoshi Co.Ltd, Yasunori Hoshi kepada Tribunnews.com baru-baru ini.
Salah satu antisipasi agar dia tak kehilangan pegawainya, dilakukan lah 'perkawinan' di dalam perusahaan dengan menjodohkan satu sama lain.
"Itu coba lihat. Sedikitnya 4 karyawan saya menikah dengan sesama karyawan di sini," papar Hoshi.
Menurutnya jika menikah dengan sesama karyawan tidak akan ke mana-mana.
"Tetapi kalau wanita dapat suami dari kota lain, biasanya akan ikut suami meninggalkan perusahaan dan pindah ke kota lain," jelasnya.
Aizuwakamatsu telah dikenal dengan pernis Aizunya sejak zaman Edo (1603-1867), dan salah satu industri lokal menggunakan teknik pelapisan Aizu (Aizunuri) untuk membuat altar dan aksesori Buddhis (butsudan) rumah tangga.
Baca juga: Roket Epsilon Jepang Gagal Diluncurkan dari Observatorium Luar Angkasa Uchinoura di Kagoshima
Alte Meister (Hoshi Inc.) adalah salah satu produsen altar Buddha terbesar di Jepang, didirikan pada tahun 1900.
Selain produk yang menggabungkan teknik tradisional seperti Aizu keshifun-makie, di mana perajin menerapkan bubuk emas murni atau bubuk berwarna di atas desain yang dicat dengan pernis, perusahaan juga telah mengembangkan altar Buddha yang cocok dengan interior modern, yang berarti telah membuka pasar baru.
Sejak populasi menurun dan menua menyebabkan kesulitan untuk mewariskan teknik dan mencari pekerja baru, Alte Meister Hoshi telah berkolaborasi dengan lembaga penelitian lokal pada penelitian dan pengembangan teknik manufaktur digital baru, untuk meneruskan teknik perajin veteran ke generasi selanjutnya.
Untuk mengembangkan prototipe dan bagian produksi massal, mereka saat ini menggunakan pemindai 3D, printer 3D, dan mesin pemodelan 3D.
Dengan menggabungkan manfaat dari bekerja dengan tangan dan teknologi digital, mereka dapat meningkatkan kecepatan pengembangan, mengurangi waktu dan biaya tenaga kerja, dan mendorong generasi muda dan perempuan untuk bergabung dengan tenaga kerja, dalam sebuah inisiatif untuk menemukan kemungkinan baru untuk kerajinan tradisional dan industri.
Tribunnews.com telah mendengar dari presiden perusahaan Hoshi Yasunori tentang masalah yang dihadapi industri tradisional regional dan upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan menggunakan teknologi digital.
"Penggunaan printer 3D tampaknya sangat membantu proses pembuatan Butsudan saat ini," lanjutnya.
Hal tersebut akan diikuti dengan melihat proses manufaktur yang menggabungkan perajin yang bekerja dengan tangan dan teknologi digital untuk kini dan masa mendatang.
Hoshi mengaku dulu pernah ke Indonesia untuk berusaha membuat Butsudan di Indonesia, namun kemudian tidak melanjutkan hal tersebut.
"Di masa depan masih ada kemungkinan untuk melihat kembali pengoperasian dan market Indonesia yang sangat baik," tambahnya.