TRIBUNNEWS.COM, AUSTRALIA - Sembilan nelayan asal Indonesia dikhawatirkan tenggelam dan 11 lainnya diselamatkan setelah menghabiskan enam hari tanpa makanan atau air di sebuah pulau tandus di lepas pantai barat laut Australia setelah topan tropis yang kuat, kata pihak berwenang, Rabu (19/4/2023) waktu setempat.
Dua kapal nelayan kayu milik nelayan asal Indonesia terjebak di jalur Topan Ilsa, yang mendarat pada hari Jumat pekan lalu.
Ilsa merupakan badai terkuat di Australia dalam delapan tahun terakhir, dengan angin berkecepatan hingga 289 kilometer per jam.
Salah satu kapal, Putri Jaya, tenggelam akibat "kondisi cuaca ekstrem" pada 11 atau 12 April saat Ilsa mengumpulkan kekuatan di atas Samudra Hindia dan menuju pantai, kata Otoritas Keselamatan Maritim Australia dalam sebuah pernyataan, mengutip para penyintas.
Baca juga: Dibawa ke Darwin, Australia Selamatkan 11 Nelayan Indonesia yang Terdampar di Pulau Terpencil
Kapal lainnya, Express 1, kandas dengan 10 orang di dalamnya pada dini hari tanggal 12 April di Pulau Bedwell, sekitar 300 kilometer dari kota wisata pesisir Broome, kata pihak berwenang. Satu-satunya korban yang diketahui dari Putri Jaya menghabiskan 30 jam di air sebelum terdampar di pulau yang sama, kata pernyataan itu.
"Mereka semua bertahan (di Pulau Bedwell) selama enam hari tanpa makanan dan air sebelum diselamatkan pada Senin malam," kata pihak berwenang.
Mereka bertahan selama enam hari tanpa makanan dan air.
Kisah ini merupakan cerita bertahan hidup yang luar biasa.
Para nelayan yang terdampar hampir saja mati jika mereka tidak segera ditemukan oleh awak pesawat Pasukan Perbatasan Australia yang lewat.
Awak Putri Jaya hingga kini masih belum ditemukan dan dikhawatirkan telah tewas.
Otoritas pencarian dan penyelamatan Indonesia mengatakan kepada ABC bahwa satu orang bertahan selama 30 jam dengan menggunakan jerigen untuk tetap mengapung, sebelum berenang menuju pulau terdekat bersama awak yang lain.
Jika bukan karena pesawat Australian Border Force (ABF) yang melakukan pengawasan terencana beberapa hari kemudian, kisah mereka mungkin tidak akan pernah terungkap.
Pada hari Senin lalu (17/4/2023), petugas ABF di pesawat melihat 11 orang yang terdampar di pulau tak berpenghuni.
Mereka kemudian mengalihkan pesawat Otoritas Keselamatan Maritim Australia untuk menyelidiki keberadaan orang-orang tersebut.
Mereka menemukan kamp darurat dan memanggil tim darurat dari PHI Aviation yang, pada Senin sore, telah mengirimkan helikopter dari Broome.
“Fakta bahwa para nelayan bertahan begitu lama adalah "luar biasa,” ujar pakar pencarian dan penyelamatan PHI Aviation, Gordon Watt.
"Ketakutan yang tak terbayangkan adalah apa yang akan mereka alami," katanya kepada ABC.
"Itu pasti sangat sulit bagi mereka karena ini adalah daerah yang sangat terpencil,” ucapnya.
"Seringkali, ketika kami pergi untuk melakukan penyelamatan, hanya ada sedikit orang - hanya satu atau dua orang yang bertahan - dan fakta bahwa mereka berada di sana begitu lama sungguh luar biasa," ujarnya.
Pulau itu terlalu berpasir untuk mendaratkan helikopter dan ketika malam tiba dan jarak pandang sangat terbatas.
"Waktu di siang hari sangat berarti bagi kru selama melakukan penyelamatan, jadi mereka harus beralih menggunakan kacamata penglihatan malam untuk [mendeteksi] gambar apa pun dalam kegelapan,” ujarnya.
"Dengan menggunakan sensor onboard di pesawat, tim dapat mengidentifikasi bahwa para penyintas memberi sinyal bahwa mereka membutuhkan air dan minuman," kata dia.
Setelah diselamatkan dan dikembalikan ke Broome, mereka diperiksa di Rumah Sakit Broome, dengan ABF melaporkan bahwa orang-orang tersebut dalam keadaan sehat, meskipun mengalami masa-masa berat.
Keluarga mereka di kampung halaman di desa kecil Papela dan Daiama di Pulau Rote sangat ingin mendengar kabar mereka.
Kepala Desa Daiama, Heber Laores Ferroh, mengatakan kepada ABC, bahwa nelayan yang hilang termasuk keponakan dan pamannya, yang menjadi kapten kapalnya.
Dia mengatakan tidak mendengar kabar dari orang yang mereka cintai dan dia sangat terkejut dengan kabar bahwa mereka telah hilang.
"Saya kenal dekat semua orang ini, saya dekat dengan mereka berenam. Mereka semua punya anak kecil yang menunggu di rumah. "Kita semua bertetangga. Kita hidup sangat dekat satu sama lain. Saya sangat, sangat sedih, orang-orang yang dekat dengan saya harus mengalami ini," kata Heber seperti dikutip dari ABC.