AS Cemas, Pasukan Israel Cuma Antar Nyawa Masuk Gaza: Tak Ada Taktik Jelas untuk Serangan Darat
TRIBUNNEWS.COM - Para pejabat Amerika Serikat dilaporkan menyuarakan kecemasan dan keprihatinan atas rencana Israel melakukan serangan darat besar-besaran masuk ke Gaza.
Kecemasan itu bukan karena mereka tidak setuju, melainkan karena AS merasa Israel tidak memiliki rencana yang jelas dan bisa diterapkan untuk mengirim pasukan darat ke Gaza.
"AS juga mempertanyakan apakah IDF dapat mencapai tujuannya untuk memusnahkan kelompok militan Hamas," tulis laporan New York Times, Senin (23/10/2023).
Baca juga: Israel Kini Kobarkan Perang di Tiga Front: Gaza, Lebanon, dan Suriah, AS Kirim Tambahan Rudal
New York Times melaporkan, dalam diskusi baru-baru ini dengan timpalannya dari Israel Yoav Gallant, Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin menekankan perlunya pertimbangan yang cermat sebelum Israel meluncurkan operasi militer darat di wilayah padat penduduk tersebut.
“Pemerintahan (AS) juga khawatir… bahwa Pasukan Pertahanan Israel belum memiliki jalur militer yang jelas untuk mencapai tujuan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memberantas Hamas,” kata outlet tersebut.
Laporan juga menambahkan kalau dalam percakapan dengan para pejabat Israel sejak Hamas serangan pada 7 Oktober, para pejabat Amerika mengatakan mereka belum melihat rencana tindakan yang dapat dilaksanakan.
Secara taktis, penyerbuan besar-besaran militer Israel tanpa rencana yang jelas, dikhawatirkan AS akan membuat jatuh banyak korban dari pihak Israel.
Gaza, seperti labirin dan rimba, dalam balutan gedung-gedung, gang, dan terowongan khas perkotaan di padang pasir.
Jangan Asal Berondong Peluru
Kekhawatiran lainnya dari AS terhadap rencana Israel adalah aksi bumi hangus yang justru membuat banyak jatuh korban dari pihak sipil.
Saat korban militer banyak yang jatuh, Israel dikhawatirkan akan memberondong peluru terhadap warga Gaza tanpa pandang bulu, sebuah kecemasan yang akan menimbulkan tekanan dari publik internasional bagi AS.
Karena itu, secara yurisdiksi, Gedung Putih menyatakan kalau para pejabat Amerika tidak mengambil keputusan atas nama Israel.
Namun Pentagon dilaporkan telah mengirim Letjen Marinir bintang tiga James Glynn untuk memberi nasihat kepada Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengenai operasi militer perkotaan (perang kota).
Perwira tersebut sebelumnya memimpin operator khusus AS yang bertugas memerangi ISIS, dan sebelumnya bertugas di Fallujah, Irak dalam beberapa pertempuran 'rumah ke rumah'.
Door to door combat battle itu dicatat sebagai paling kejam yang dialami pasukan AS setelah invasi ke negara tersebut pada tahun 2003.
"Glynn dilaporkan akan memberi saran kepada pasukan Israel tentang “cara mengurangi korban sipil dalam peperangan perkotaan,” menurut Associated Press, yang mengutip seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya.
Namun, Koordinator Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengatakan kepada wartawan pada hari Senin bahwa penasihat Amerika tidak akan bertugas dalam peran tempur.
Tugas personel AS hanya akan berkonsultasi dan memberi advis ke komandan temppur Israel.
Sementara itu, pejabat lain yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada New York Times bahwa Glynn tidak akan tetap berada di Israel jika invasi darat dimulai.
Selama panggilan telepon dengan Gallant pada Senin, Menteri Pertahanan Austin dilaporkan menekankan “pentingnya perlindungan warga sipil,” dan “mendorong” militer Israel untuk “melakukan operasi mereka sesuai dengan hukum perang.”
Dietahui, IDF telah mendapat kecaman dari beberapa kelompok hak asasi manusia atas serangan terhadap bangunan sipil di Gaza, yang telah menyebabkan sedikitnya 5.000 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka, menurut pejabat setempat.
Sekitar 1.400 orang di Israel telah terbunuh sejak putaran terakhir permusuhan meletus pada tanggal 7 Oktober, ketika Hamas melancarkan salah satu serangan terbesarnya hingga saat ini.
Ratusan ribu penduduk di Gaza terpaksa mengungsi di tengah kekerasan tersebut, dan banyak dari mereka sangat membutuhkan bantuan.
Hal ini juga memicu peringatan akan adanya bencana kemanusiaan dari PBB dan organisasi lainnya.
(oln/NYT/AP/*)