Eks-Analis Militer AS: Israel Mustahil Bisa Musnahkan Hamas, Tentara IDF Cuma Bocah, Terowong 3 Tingkat
TRIBUNNEWS.COM - Niat tentara Israel (IDF) memberangus habis Hamas, dianalisis akan sulit diwujudkan.
Mantan perwira intelijen Korps Marinir AS, dan inspektur senjata PBB, Scott Ritter, menjelaskan, kelompok sekaliber Hamas di Gaza tidak akan mungkin diberantas habis merujuk pada kompleksnya struktur dan jaringan infrastruktur yang sudah dibangun.
Dari segi ideologis, Hamas dinilai sebagai gerakan perlawanan yang bertujuan membebaskan Palestina dari pendudukan Israel. Selama pendudukan itu masih terjadi, Hamas -atau apapun namanya nanti- akan tetap beregenerasi.
Dari sisi taktis peperangan, terowongan Hamas menjadi kendala besar bagi IDF yang bahkan sulit dijangkau oleh bombardemen tanpa ampun ke Gaza yang sudah menewaskan hampir 10 ribu orang Palestina dalam tiga pekan.
Baca juga: Media Israel: Lapis Baja Panther APC Hangus, IDF Ogah Masuk Terowongan, Keteteran Disergap Hamas
"Jika militer Israel ingin mengalahkan Hamas di Gaza, mereka harus turun ke terowongan bawah tanah, kata Scott Ritter dilansir Sputnik.
"Namun Israel tidak ingin melakukan hal itu, karena mereka menginginkan perang dengan biaya murah,” tegas pengamat geopolitik tersebut.
“Mereka bertarung di atas tanah. Mereka melakukan operasi terowongan terbatas. Namun mereka tidak berhasil mengalahkan Hamas. Untuk mengalahkan Hamas, Anda harus melakukan tindakan bawah tanah, dan Anda harus menutup seluruh jaringan terowongan,” kata dia.
Scott Ritter menegaskan kembali kalau yang dilakukan Israel saat ini hanyalah menghancurkan infrastruktur yang tampak dan terlihat, di tengah melonjaknya jumlah korban warga sipil.
“Pada akhirnya terowongan akan dibangun kembali, Hamas akan tumbuh kembali dan Israel tidak akan pernah mengalahkan ‘ideologi perlawanan’ ini,” kata dia.
Terowongan Tiga Tingkat
Sebuah ulasan Sputnik, mengutip keterangan pakar melansir, terowongan Hamas terdiri dari tiga tingkat.
Dijelaskan, terowongan tingkat pertama mencakup jalur komunikasi yang memungkinkan pergerakan unit, pemindahan senjata dan amunisi.
Tingkat kedua, terowongan jaringan Hamas disebutkan bahkan mampu menampung bengkel dan pabrik pembuatan rudal,
Terowongan tingkat ketiga, pada kedalaman sekitar 40-60 meter di bawah tanah, terdapat markas besar Hamas, yang dilindungi oleh penutup yang diperkuat beton.
Setelah serangan mendadak Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menyerang Jalur Gaza dengan serangan yang secara bertahap semakin kuat.
Serangan-serangan tersebut telah menimbulkan kerusakan besar di daerah kantong tersebut, dengan jumlah korban sipil yang tewas melonjak.
Setidaknya 9.488 warga Palestina telah tewas dalam serangan Israel di daerah kantong tersebut sejauh ini, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Sayap militer Hamas, Brigade al-Qassam, mengatakan pada Rabu pekan lalu kalau tujuh sandera, termasuk tiga orang asing, tewas akibat serangan Israel di kamp pengungsi Jabalia pada 31 Oktober.
IDF mengatakan pada Selasa lalu mereka telah menyerang kamp Jabalia di Jalur Gaza, dan menambahkan bahwa kematian warga sipil adalah konsekuensi dari “tragedi perang”.
Menurut Kementerian Dalam Negeri eksklave tersebut, setidaknya 400 orang di kamp pengungsi tewas dan terluka akibat serangan udara Israel.
Meski jatuh banyak korban sipil, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengenyampingkan gencatan senjata apa pun sampai Hamas melepaskan semua sanderanya, yang ditangkap selama pelanggaran perbatasan pada bulan Oktober.
Israel juga telah memulai serangkaian serangan darat ke Gaza di mana Hamas mengandalkan jaringan terowongan luas yang tersembunyi di bawah daerah padat penduduk.
“Kami sedang melakukan operasi darat yang diperluas di Jalur Gaza. Angkatan darat, tank, infanteri, dan pasukan lapis baja bermanuver ke arah teroris,” kata juru bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari pada 30 Oktober.
Pada Minggu (5/11/2023), IDF juga mengatakan kalau tentara Israel telah memperoleh akses ke terowongan bawah tanah Hamas di utara Jalur Gaza.
Selama beberapa minggu terakhir, pemandangan dari Jalur Gaza yang dilanda pemboman, di mana Israel memerintahkan blokade total, memutus pasokan air, makanan, dan bahan bakar, telah mendorong ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan di berbagai kota, termasuk di ibu kota AS, Washington, DC, untuk memprotes aktivitas militer Israel di daerah kantong tersebut.
Namun, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, saat bertemu dengan para pemimpin Timur Tengah di Yordania, kembali menolak seruan gencatan senjata.
Pun, Washington lebih memilih menyuarakan dukungannya terhadap “jeda kemanusiaan”.
Mitos Infalibilitas Militer Israel Hancur, IDF Anak-anak 18 Tahun
Melihat kembali serangan awal Hamas pada Oktober dan cara kelompok militan tersebut mampu menembus apa yang disebut 'tembok besi', dengan 'teknologi pintar' yang Israel miliki, Scott Ritter menjelaskan kalau mitos “kesempurnaan intelijen Israel” telah rusak.
Selama bertahun-tahun, Angkatan Pertahanan Israel “telah didukung” oleh teknologi Amerika, kata pakar tersebut.
“Salah satu tujuan dan sasaran utama kami (AS) dalam mendukung Israel adalah untuk memastikan bahwa Israel mempertahankan supremasi teknologi atas musuh potensial mana pun. Itu sebabnya kami memberi mereka senjata Amerika yang paling canggih, dan lain sebagainya… Namun IDF sendiri – di luar, misalnya, pilot, beberapa perwira senior, dan NCO senior – sebagian besar pasukan pertahanannya adalah militer wajib militer,” jelas Ritter.
Ia kemudian menjelaskan hal ini berarti batalion yang saat ini beroperasi di Gaza terdiri dari “anak-anak berusia 18, 19, 20 tahun yang tidak memiliki pengalaman berarti apa pun.”
“Mereka juga anak-anak bangsa yang tidak suka jika ada korban jiwa. Mereka tidak ingin anak laki-laki dan perempuan mereka pulang ke rumah dalam kantong mayat,” kata Ritter.
Menurut kontributor Sputnik, tentara IDF melakukan banyak “postur”, menggunakan “serangan stand-off” dan bersembunyi “di balik teknologi mereka”.
“Namun, IDF, ketika Anda berhadapan dengan mereka... Apa yang Anda temukan adalah mereka tidak bisa menang. Mereka tidak mengalahkan Hizbullah pada tahun 2006. Mereka tidak mengalahkan Hamas pada tahun 2014. Mereka tidak mengalahkan Hamas sekarang karena Anda tidak dapat memenangkan konflik besar dengan militer yang berbasis wajib militer jika Anda tidak bersedia membiarkan orang-orang ini mati … Tapi, tahukah Anda, jika Anda ingin membunuh 50.000 pejuang Hamas, pahamilah bahwa Anda harus bersiap kehilangan 20.000 warga Israel,” kata Ritter.
Menurutnya, IDF “tidak lagi dipandang sebagai pihak yang tak terkalahkan”, melainkan “tidak kompeten” dan bahkan “lemah”.
“Dan ini buruk bagi Israel karena negaranya kecil. Dan salah satu alat terbaik yang mereka miliki untuk menahan kekuatan yang menentangnya adalah mitologi IDF yang tidak terkalahkan, dan intelijen Israel yang tidak dapat salah. Kedua mitos tersebut telah hancur,” tegas mantan inspektur senjata PBB dan pelapor WMD.
Ritter menjelaskan, Israel sejatinya bisa memanfaatkan peluang mendapatkan dukungan politik dan moral di momen Hamas menyerang pada 7 Oktober.
“Sementara semua orang bertanya-tanya, 'Wah, apa yang terjadi?' Israel seharusnya mengambil jeda sejenak, lalu pergi ke PBB, dan berkata, 'Kami diserang… Berdasarkan Pasal 51, kami mendatangi Anda, dan kami memohon kepada Anda. , apa yang akan Anda lakukan mengenai hal ini?.. Bagaimana kita menyingkirkan Hamas, organisasi yang menyerang kita?'” kata pakar tersebut.
Pada saat itu, kepemimpinan Israel bisa saja memulai “pertempuran politik”, di sisi lain, Israel bisa mengambil langkah militer. Dengan strategi itu, Israel bisa saja mendapat 'legitimasi' internasional untuk aksi militernya.
Namun, kata dia, Israel justru malah melakukan langkah prematur dengan bombardemen Gaza yang menimbulkan penentangan secara internasional.
“Mereka hanya memperkuat Hamas secara politik. Hamas tidak pernah lebih lemah dibandingkan pada tanggal 8 Oktober.
"Jika Israel bisa membalikkan skenario ini dengan segera, dan bukannya jalanan dipenuhi pendukung pro-Palestina, Anda akan mendapati jalanan penuh dengan pendukung pro-Israel, orang-orang berkata 'Hamas harus pergi'... Itulah yang seharusnya dilakukan Israel." katanya
"Dan mereka bisa saja memenangkan perang itu... Tapi ternyata tidak. Sebaliknya, Israel justru melakukan apa yang diprogramkan untuk mereka lakukan: melakukan kejahatan perang besar-besaran terhadap rakyat Palestina yang tidak mereka hargai. Dan kini dunia berbalik melawan Israel,” kata Ritter.
(oln/*/sptnk)