“Panel surya dan tangki air juga menjadi sasaran, artinya RS Rantisi tidak memiliki setetes air pun,” lanjut dia.
Serangan terhadap rumah sakit memaksa Rabaa al-Radee membawa cucunya yang sakit, Sidra, untuk berobat ke tempat lain.
Sidra mengidap penyakit kanker dan kakinya patah akibat kecelakaan saat melarikan diri dari bom Israel yang menghantam sekolah tempat mereka berlindung.
Baca juga: Tentara Israel Mundur dari Gaza Utara, Brigade Al-Qassam Hancurkan 24 Kendaraan Militer Musuh
“Kami sampai di RS Kamal Adwan, tapi mereka malah menyuruh kami datang ke RS Rantisi,” kata Rabaa.
"Sekarang, Rantisi menyuruh kami pergi ke Rumah Sakit Shifa, tapi tidak ada ambulans atau mobil di jalan.”
Setidaknya 16 dari 35 rumah sakit di Gaza tidak berfungsi dan 51 dari 72 klinik kesehatan primer di wilayah itu telah ditutup sepenuhnya.
Rumah Sakit Jiwa, satu-satunya di Jalur Gaza, juga tidak mampu lagi merawat pasiennya.
“Kami akan menerima 50 hingga 70 pasien setiap hari, mulai dari mereka yang datang untuk mengambil obat hingga mereka yang datang untuk dirawat karena trauma psikologis akibat suara bom yang terus menerus,” kata Jamil Suleiman, Direktur Umum Rumah Sakit Jiwa.
“Luka di badan bisa sembuh, tapi luka psikologis jauh lebih dalam dan perlu perawatan kejiwaan,” sambungnya.
Jika rumah sakit di Gaza terus diserang, maka Dewan Keamanan PBB atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak diperlukan, tambah Suleiman.
“Jika tidak ada jaminan terhadap hak-hak pasien, maka tidak ada gunanya badan kesehatan internasional hanya menyaksikan suatu populasi dibantai,” katanya.
“Mungkin jika kita adalah binatang, maka kita akan mendapatkan hak-hak kita.”
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W/Mario Christian, Kompas.com/Nirmala Maulana)