TRIBUNNEWS.COM - Perang Israel-Hamas di Gaza sudah berlangsung lebih dari 8 bulan.
Di front lain, Israel menghadapi ancaman Hizbullah, kelompok yang didukung Iran yang berbasis di Lebanon.
Pasukan Israel kerap terlibat baku tembak dengan Hizbullah di perbatasan.
Konflik Hizbullah-Israel dikhawatirkan semakin meluas dan memicu perang besar-besaran di wilayah tersebut.
Mengutip Newsweek, Hamas dan Hizbullah dinilai ahli dalam peperangan asimetris, atau perang melawan pihak yang memiliki perbedaan signifikan dalam kekuatan militer, strategi, atau taktik.
Kedua kelompok tersebut didukung oleh Iran dan menganggap Israel sebagai musuh bebuyutan mereka.
Hamas kurang lebih menguasai Gaza sebelum 7 Oktober 2023.
Sementara Hizbullah di bawah kepemimpinan Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallah, perlahan menjadi partai politik dan regional yang berpengaruh.
“Hamas semakin banyak menerima dana, senjata, dan pelatihan dari Iran, namun mereka tidak dikontrol oleh Iran seperti Hizbullah, yang hampir seluruhnya didukung oleh Iran dan mengikuti arahannya,” tulis Julie M. Norman, profesor di bidang politik dan hubungan internasional di UCL, dalam artikelnya di The Conversation.
Berikut perbedaan kunci kekuatan militer antara Hamas dan Hizbullah, dilansir Newsweek.
Hamas: Taktik Gerilya
Hamas, yang didirikan pada tahun 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin, beroperasi terutama di Jalur Gaza.
Baca juga: Hamas Bantah Laporan Kepemimpinan Hamas Bakal Pindah dari Qatar ke Irak
Sayap militernya, yang dikenal sebagai Brigade al-Qassam, mengembangkan jaringan terowongan di bawah Gaza yang digunakan untuk perang gerilya, sehingga menyulitkan pasukan Israel untuk mendeteksinya.
Hamas terkenal karena memproduksi dan memperoleh roket, mortir, bahan peledak, peluru kendali anti-tank, dan rudal anti-pesawat yang diluncurkan dari sistem pertahanan udara portabel atau MANPADS.
Kelompok ini cenderung berfokus pada kuantitas dibandingkan kualitas, memindahkan persenjataannya melalui jaringan terowongan yang luas untuk menghindari deteksi.