Mesir telah menyatakan penolakannya terhadap perpindahan warga Palestina dari Gaza sebagai bagian dari penolakan negara-negara Arab terhadap terulangnya apa yang disesali oleh warga Palestina sebagai “Nakba”, atau “Bencana”.
Saat itu, sekitar 700.000 orang melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam perang yang terjadi di sekitar Gaza. Penciptaan Israel pada tahun 1948.
Para diplomat dan analis mengatakan Mesir juga khawatir akan infiltrasi Hamas dan menampung sejumlah besar pengungsi.
Pada bulan Oktober, Presiden Abdel Fattah Al-Sisi memperingatkan kalau pengungsian dapat mengubah Sinai menjadi basis serangan terhadap Israel.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
Tetap Berkomitmen pada Perjanjian Camp David
Sebelumnya dilaporkan, pemerintah Mesir mengatakan berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan pada Februari lalu kalau negaranya berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel, Anadolu Agency melaporkan.
“Ada perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel, yang telah berlaku selama 40 tahun terakhir, dan kami melakukan kesepakatan dengan percaya diri dan efektif dan akan terus melakukannya pada tahap ini,” kata Shoukry saat konferensi pers dengan timpalannya dari Slovenia, Tanja Fajon di ibu kota Ljubljana.
Pernyataannya muncul setelah laporan sebelumnya di media AS mengklaim kalau Kairo mengancam akan menangguhkan perjanjian damai dengan Israel atas rencana serangan darat di kota Rafah dekat perbatasan dengan Mesir.
Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel pada tahun 1979 yang menyatakan Tel Aviv menarik diri dari Semenanjung Sinai.
Shoukry mengatakan Kairo berusaha menjadi perantara kesepakatan antara Hamas dan Israel untuk pembebasan sandera dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Tentara Israel berencana melancarkan serangan darat di Rafah, rumah bagi lebih dari 1,4 juta penduduk yang mencari perlindungan dari perang, untuk mengalahkan apa yang disebut Tel Aviv sebagai “batalion Hamas” yang tersisa.
Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah ketika Israel menggempur wilayah kantong lainnya sejak 7 Oktober.
Pemboman Israel yang terjadi kemudian telah menewaskan lebih dari 35 ribu korban dan menyebabkan kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.
Perang Israel di Gaza menyebabkan 85 persen penduduk wilayah tersebut menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut PBB.
Pada akhir tahun 2023, Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional, menuduh Israel gagal menjunjung komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.
Dalam keputusan sementaranya pada bulan Januari, pengadilan PBB memutuskan bahwa klaim Afrika Selatan masuk akal.
Mereka memerintahkan tindakan sementara bagi pemerintah Israel untuk menghentikan tindakan genosida, dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.
(oln/rntv/aja/berbagaisumber/*)