TRIBUNNEWS.COM - Israel dilaporkan menggunakan dalih penemuan sejumlah terowongan berstatus 'luar biasa besar' di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir untuk mempertahankan kendali mereka atas wilayah tersebut.
Senin (5/8/2024) Pasukan Pendudukan Israel (IDF) telah merilis foto-foto "terowongan luar biasa besar" di perbatasan Gaza-Mesir itu yang mereka klaim temukan minggu lalu.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
"Terowongan itu tingginya sekitar tiga meter, dan cukup besar untuk dilalui seluruh kendaraan," menurut pernyataan IDF tersebut dilansir RNTV, Senin.
Terowongan itu ditemukan di sepanjang Koridor Philadelphia, dan dilaporkan sedang diselidiki oleh teknisi tempur IDF sebelum melanjutkan pembongkarannya.
IDF sebelumnya mengklaim telah menemukan sedikitnya 25 terowongan yang melintasi Mesir.
Baca juga: Tank-Tank Israel Rebut Kendali Penyeberangan Rafah, Mesir Siaga, Siapkan Semua Skenario Perang
IDF Tidak Mau Tarik Pasukan dari Koridor Philadelphia dan Penyeberangan Rafah
Berkenaan dengan itu, Perdana Menteri Pendudukan Israel Benjamin Netanyahu menyatakan dalam sebuah video yang diunggah di X kalau Israel tidak akan menarik pasukan mereka dari Koridor Philadelphia dan Penyeberangan Rafah
Dalam cuitannya, Netanyahu menyatakan kalau dia "siap melakukan segala cara untuk mengamankan pembebasan semua sandera sambil menjaga keamanan Israel."
Netanyahu menekankan komitmennya untuk terus memberikan tekanan pada Hamas agar membebaskan semua sandera.
Ia menambahkan, "Komitmen kami sepenuhnya bertentangan dengan kebocoran dan pengarahan palsu mengenai masalah pembebasan sandera."
"Pengarahan ini merusak negosiasi, menyesatkan keluarga sandera, dan menciptakan kesan palsu bahwa Hamas telah menyetujui kesepakatan tersebut sementara pemerintah Israel menentangnya," katanya.
Netanyahu mengklaim kalau dia tidak menambahkan satu pun tuntutan pada garis besar proposal negosiasi kesepakatan senjata tersebut, dengan menegaskan bahwa Hamas-lah yang meminta banyak perubahan.
Ia melanjutkan tuduhannya, dengan menuding kalau Hamas tidak menurunkan tuntutannya yang akan mencegah Israel kembali berperang dan bahwa Hamas menuntut penarikan pasukan dari Koridor Philadelphia dan Perlintasan Perbatasan Rafah.
Netanyahu menegaskan, "Kami tidak akan menarik pasukan dari Koridor Philadelphia dan Perlintasan Rafah."
Ia menambahkan, "Hamas tidak bersedia menerima mekanisme apa pun yang mencegah masuknya senjata dan militan ke Gaza utara. Hamas adalah pihak yang menghalangi kesepakatan dengan menolak garis besarnya, bukan kami."
Abaikan Peringatan Mesir di Tengah Kepungan 7 front
Manuver tentara IDF ogah mundur dan melepaskan kendali perbatasan Mesir-Gaza di penyeberangan Rafah ini jelas mengabaikan peringatan Mesir yang berulang kali mewanti-wanti kalau aksi itu berpotensi memperluas konflik di Timur Tengah.
Terlebih, saat ini Israel tengah dikepung oleh 7 front pertempuran dari Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, dan Iran.
Sejak perang antara Israel dan Hamas meletus pada 7 Oktober, Mesir diketahui melakukan sejumlah upaya agar perbatasan antara negara mereka dan Gaza benar-benar tertutup rapat.
Mesir membangun tembok perbatasan beton yang tingginya enam meter ke dalam tanah dan di atasnya dipasang kawat berduri.
Mereka juga telah membangun tanggul dan meningkatkan pengawasan di pos-pos perbatasan, kata sumber keamanan.
April lalu, layanan informasi negara Mesir merinci beberapa tindakan yang diambil di perbatasannya sebagai tanggapan atas dugaan Israel kalau Hamas telah memperoleh senjata yang diselundupkan dari Mesir.
Tiga garis penghalang membuat penyelundupan melalui darat atau bawah tanah menjadi mustahil, katanya.
Gambar yang dibagikan ke Reuters oleh Sinai Foundation for Human Rights, sebuah kelompok independen, menunjukkan pemasangan tembok pada bulan Desember, dengan beberapa tanggul di belakangnya.
Gambar selanjutnya, yang menurut kelompok itu diambil pada awal Februari, tampak menunjukkan tiga lapisan kawat berduri melingkar vertikal dipasang di atas tembok.
Citra satelit dari bulan Januari dan Desember juga menunjukkan beberapa pembangunan baru di sepanjang 13 km (8 mil) perbatasan dekat Rafah dan perluasan tembok ke tepi laut di ujung utaranya.
Mesir juga sudah mengirimkan sekitar 40 tank dan pengangkut personel lapis baja ke timur laut Sinai pada Februari silam dan bersiaga di sana sejak itu.
Langkah Mesir ini disebutkan sebagai bagian dari serangkaian tindakan untuk meningkatkan keamanan di perbatasannya dengan Gaza, kata dua sumber keamanan Mesir, menurut laporan Reuters.
Seorang pejabat tinggi pemerintah Mesir, mengatakan kalau Kairo siap untuk menghadapi skenario apa pun yang mungkin terjadi atas situasi di Rafah terkait agresi militer Israel.
Stasiun televisi Al Qahera News, Selasa (13/2/2024) silam melaporkan, Mesir menyatakan pemerintah mereka mengawasi secara seksama situasi yang terjadi di perbatasan dan Rafah, mengingat tentara Israel (IDF) sudah memulai serangan ke wilayah itu.
Hubungan Mesir-Israel Terancam Rusak, Perang di Depan Mata
Mesir dan Israel telah hidup damai selama lebih dari empat dekade.
Kedua negara, dalam beberapa tahun terakhir, telah memperluas hubungan melalui ekspor gas alam Israel dan koordinasi keamanan di sekitar perbatasan bersama dan Jalur Gaza.
Kedua negara telah mempertahankan blokade terhadap Gaza, secara ketat membatasi pergerakan orang dan barang melintasi perbatasannya, setelah Hamas menguasai wilayah tersebut pada tahun 2007.
Namun hubungan tersebut berada di bawah tekanan dan terancam rusak karena operasi militer Israel saat ini di Gaza, yang dilakukan sebagai pembalasan atas serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober.
Baca juga: Tagih Mesir Balas Budi ke Israel, Eks-Menlu Tel Aviv Serukan Pengambil Alihan Koridor Philadelphia
Mesir telah berulang kali memperingatkan kemungkinan kalau serangan Israel dapat mengusir warga Gaza yang putus asa ke Sinai.
Mesir juga marah atas manuver dari Israel yang mengambil kembali kendali penuh atas koridor perbatasan Gaza-Mesir untuk memastikan demiliterisasi Wilayah Palestina.
Pada bulan Januari, Mesir mengumumkan dua operasi untuk memberantas penyelundupan narkoba di timur laut Sinai dalam upaya nyata untuk menunjukkan kendali mereka atas wilayah tersebut.
Seorang pejabat Israel mengatakan kepada Reuters, restrukturisasi keamanan di perbatasan, yang katanya masih memiliki sejumlah terowongan, sedang dalam diskusi rutin oleh kedua negara.
Israel akan mencoba mengorganisir pergerakan pengungsi Palestina ke utara di Gaza sebelum operasi militer apa pun di sana, kata pejabat itu.
Sumber keamanan Mesir membantah telah terjadi pembicaraan apa pun dan mengatakan mereka memprioritaskan upaya untuk mencapai gencatan senjata di Gaza.
Baca juga: Ancaman Keras Mesir ke Israel Jika Berani Usir Warga Palestina ke Sinai, Sinyal Perang di Selatan?
Baca juga: Dokumen Intelijen Israel Bocor: Mau Jadikan Warga Gaza Kaum Terusir di Tenda-Tenda Sinai Mesir
Dalih Israel Kuasai Perbatasan
Saat itu, layanan informasi negara menyebut tuduhan adanya penyelundupan sebagai “kebohongan” yang dimaksudkan untuk menutupi tujuan Israel menduduki zona penyangga perbatasan, yang dikenal sebagai Koridor Philadelphia.
Mesir juga menyalahkan Israel karena membatasi pengiriman bantuan ke Gaza, di mana risiko kelaparan meningkat dan para pekerja bantuan telah memperingatkan penyebaran penyakit.
Israel membantah menahan atau menolak pasokan kemanusiaan.
Belakangan, aksi nyata Israel mengambil alih perbatasan Mesir-Gaza di titik penyeberangan Rafah dimaksudkan untuk memblokade wilayah tersebut dari mobilisasi Hamas saat IDF masuk menyerbu.
Mesir telah menyatakan penolakannya terhadap perpindahan warga Palestina dari Gaza sebagai bagian dari penolakan negara-negara Arab terhadap terulangnya apa yang disesali oleh warga Palestina sebagai “Nakba”, atau “Bencana”.
Saat itu, sekitar 700.000 orang melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam perang yang terjadi di sekitar Gaza. Penciptaan Israel pada tahun 1948.
Para diplomat dan analis mengatakan Mesir juga khawatir akan infiltrasi Hamas dan menampung sejumlah besar pengungsi.
Pada bulan Oktober, Presiden Abdel Fattah Al-Sisi memperingatkan kalau pengungsian dapat mengubah Sinai menjadi basis serangan terhadap Israel.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
Tetap Berkomitmen pada Perjanjian Camp David
Sebelumnya dilaporkan, pemerintah Mesir mengatakan berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry mengatakan pada Februari lalu kalau negaranya berkomitmen untuk menegakkan perjanjian damai dengan Israel, Anadolu Agency melaporkan.
“Ada perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel, yang telah berlaku selama 40 tahun terakhir, dan kami melakukan kesepakatan dengan percaya diri dan efektif dan akan terus melakukannya pada tahap ini,” kata Shoukry saat konferensi pers dengan timpalannya dari Slovenia, Tanja Fajon di ibu kota Ljubljana.
Pernyataannya muncul setelah laporan sebelumnya di media AS mengklaim kalau Kairo mengancam akan menangguhkan perjanjian damai dengan Israel atas rencana serangan darat di kota Rafah dekat perbatasan dengan Mesir.
Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel pada tahun 1979 yang menyatakan Tel Aviv menarik diri dari Semenanjung Sinai.
Shoukry mengatakan Kairo berusaha menjadi perantara kesepakatan antara Hamas dan Israel untuk pembebasan sandera dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Tentara Israel berencana melancarkan serangan darat di Rafah, rumah bagi lebih dari 1,4 juta penduduk yang mencari perlindungan dari perang, untuk mengalahkan apa yang disebut Tel Aviv sebagai “batalion Hamas” yang tersisa.
Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah ketika Israel menggempur wilayah kantong lainnya sejak 7 Oktober.
Pemboman Israel yang terjadi kemudian telah menewaskan lebih dari 35 ribu korban dan menyebabkan kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.
Perang Israel di Gaza menyebabkan 85 persen penduduk wilayah tersebut menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut PBB.
Pada akhir tahun 2023, Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional, menuduh Israel gagal menjunjung komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.
Dalam keputusan sementaranya pada bulan Januari, pengadilan PBB memutuskan bahwa klaim Afrika Selatan masuk akal.
Mereka memerintahkan tindakan sementara bagi pemerintah Israel untuk menghentikan tindakan genosida, dan mengambil tindakan untuk menjamin bahwa bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.
(oln/rntv/aja/berbagaisumber/*)