Tahap Kedua: Negosiasi mengenai tahap kedua gencatan senjata akan dimulai pada tahap pertama. Bantuan untuk menampung dan memberi makan sekitar dua juta warga Palestina yang mengungsi akan terus berlanjut, dan rencana untuk membangun kembali infrastruktur Gaza yang hancur akan dimulai.
Pembatasan oleh pihak Israel di penyeberangan Rafah, perbatasan antara Mesir dan Gaza, akan dilonggarkan.
Pada tahap kedua itu, sisa sandera Israel lainnya – warga sipil dan tentara laki-laki – akan ditukar.
Namun sebelum hal itu bisa terjadi, rencana tiga tahap itu menyatakan harus "terjadi ketenangan berkelanjutan yang telah dipulihkan (penghentian permanen operasi militer dan permusuhan)”.
Tahap Ketiga: Tahap ketiga akan mencakup rekonstruksi umum wilayah Gaza selama beberapa tahun. Jenazah dari orang-orang yang meninggal di kedua belah pihak akan dikembalikan.
Ada juga sejumlah aspek lain dalam perjanjian gencatan senjata yang dimaksudkan untuk memengaruhi Israel atau Hamas.
Misalnya, menurut harian AS, The Washington Post, terdapat diskusi mengenai penarikan kelompok Hizbollah yang bermarkas di Lebanon dari perbatasan Israel-Lebanon, serta potensi Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel.
Ada juga laporan bahwa Qatar – negara Teluk tempat sayap politik Hamas bermarkas – telah menekan kelompok itu dengan mengancam akan mengusir mereka dari Qatar.
Namun masih ada bagian-bagian tertentu dari kerangka dasar itu yang tidak dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Ada yang sudah diketahui banyak kalangan, ada pula yang kurang dipublikasikan.
Misalnya, para perunding berbicara tentang tenggat waktu yang berbeda-beda dan perbedaan pendapat mengenai nama-nama dan jumlah sandera yang dibebaskan.
Poin-Poin Permasalahan Dalam Gencatan Senjata
Penghentian pertempuran secara permanen: Walau gencatan senjata sementara pada tahap pertama tampaknya merupakan sesuatu yang dapat disepakati semua pihak, tetapi apa yang terjadi setelahnya masih memerlukan negosiasi yang intens.
Hamas menginginkan jaminan bahwa permusuhan berakhir secara permanen setelah mereka menyerahkan sandera.
Namun pemerintah Israel mengatakan, mereka tidak akan berhenti berperang sampai mencapai “kemenangan total” atas Hamas.
Pada awal Juli, Hamas mengatakan mereka akan menerima perjanjian gencatan senjata tanpa jaminan tertulis dari Israel untuk mengakhir pertempuran terlebih dahulu.
Kolumnis deks luar negeri Washington Post, David Ignatius, menjelaskan alasan persetujuan Hamas:
Sebuah kalimat dalam resolusi Dewan Keamanan PBB pada bulan Juni mengatakan: "Jika negosiasi memakan waktu lebih dari enam minggu untuk tahap pertama, gencatan senjata akan tetap berlanjut selama negosiasi berlanjut."
Menurut Ignatius, itu berarti, pertempuran harus dihentikan selama perundingan tahap pertama masih berlangsung.
Rumusan tersebut, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Times of Israel, “Memungkinkan Israel merasa cukup nyaman bahwa memiliki kemampuan untuk melanjutkan pertempuran jika Hamas berhenti bernegosiasi dengan itikad baik, dan Hamas merasa cukup nyaman bahwa para mediator akan mencegah Israel melanjutkan perang.”
Namun tak lama kemudian, Netanyahu mengumumkan syarat-syarat lanjutan yang "tidak dapat dinegosiasikan", salah satunya adalah Israel harus tetap diizinkan untuk melanjutkan pertempuran.
Komentarnya itu membuat marah para perunding internasional dan sejumlah politisi Israel, yang semuanya berpendapat bahwa pernyataannya itu membahayakan kesepakatan saat perundingan akan dilanjutkan.
Kantor berita AS, Associated Press (AP) menulis, “Israel tampaknya khawatir bahwa Hamas akan berlarut-larut dalam perundingan yang sia-sia.”
Minggu ini, New York Times melihat sejumlah dokumen yang tidak dipublikasikan yang menunjukkan bahwa, meskipun ada keraguan mengenai kesediaan Hamas untuk berkompromi, Israel adalah mitra yang “kurang fleksibel” dalam perundingan gencatan senjata baru-baru ini.
Kantor Netanyahu membantah hal itu. Sejumlah pengkritik Perdana Menteri Israel itu mengatakan bahwa Netanyahu sengaja mempanjang perang demi kelangsungan karier politiknya sendiri. Para mitra koalisi sayap kanan yang mendukung pemerintahannya mengatakan, mereka tidak akan menerima gencatan senjata apapun.
Pada awal Agustus itu, Ismail Haniyeh, salah satu kepala perunding Hamas untuk perjanjian gencatan senjata, tewas di Teheran, kemungkinan besar akibat bom yang dipasang Israel.
Siapa yang akan berkuasa di Gaza? Israel berkeras bahwa Hamas tidak boleh berkuasa di Gaza setelah pertempuran berakhir.
Sejak November lalu, Hamas telah menegaskan bahwa mereka yang akan berkuasa, dan bahwa mereka tidak ingin saingan politiknya, Otoritas Palestina (PA), mengambil alih kekuasaan di Gaza.
Laporan terbaru mengatakan, Israel dan Hamas telah bersepakat bahwa sebuah kekuatan yang didukung PA, diawasi negara-negara lain, termasuk negara-negara Arab, untuk mengambil kendali sementara atas Gaza.
Lokasi pasukan Israel: Hamas ingin Israel menarik diri sepenuhnya dari Gaza. Israel ingin menempatkan pasukannya di pos-pos pemeriksaan di tengah Jalur Gaza sehingga tentaranya dapat memerika warga Palestina yang membawa senjata.
Ada perdebatan mengenai hal ini, dan Israel tampaknya setuju untuk menarik diri pada Mei.
Namun dalam surat pada bulan Juli kepada para mediator di Roma, yang dikirim kantor Perdana Menteri Israel dan dilihat New York Times, Israel tampaknya mengingkari hal ini.
Area yang sumber kontroversi lainnya adalah titik penyeberangan Rafah di perbatasan Mesir-Gaza, yang dulu dikuasai militer Mesir.
Israel mengatakan, mereka harus diizinkan untuk mempertahankan kendali atas wilayah itu, demi mencegah penyelundupan senjata yang melewati daerah itu kepada Hamas.
(oln/rntv/kmps/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gencatan Senjata Israel-Hamas, Mengapa Tak Kunjung Ada Kesepakatan?"