Saiful mengatakan bahwa pada tahun 1960-an, NU adalah salah satu partai andalan Soekarno.
Ketika itu, lanjut dia, Partai Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno, tapi Partai NU tidak bahkan menjadi semacam partnernya.
Baca juga: SMRC Catat PDIP Langsung Tersingkir di Putaran Pertama Pilpres jika Putuskan Tak Berkoalisi
Sejumlah tokoh NU, kata Saiful, bahkan pernah punya gagasan untuk menjadikan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup.
"Ada sentimen itu, kedekatan kultural. Saya tidak tahu persis apakah itu ada hubungannya dengan tokoh-tokoh NU ini sentralnya di Jawa, dan PNI di Jawa, Masyumi kurang Jawa, dan Muhammadiyah walaupun lahirnya di Yogyakarta, tapi banyak Islam di luar Jawa itu tidak berafiliasi politi dengan yang berhubungan dengan NU. Tapi dengan Masyumi, kemudian ada partai yang lain PPP misalnya, ada PAN," kata Saiful.
Saiful mengatakan ada kemungkinan bahwa tipologi santri tradisionalis dan modernis cukup kuat.
Dua kecenderungan tersebut, kata dia, tidak mudah berjalan berdampingan.
"Kita melihat orang NU, secara politik, lebih bisa bekerja sama dengan orang nasionalis ketimbang dengan orang modernis. Kalau dilihat faktanya, itu salah satu kemungkinan penjelasannya," kata dia.
Saiful menjelaskan NU adalah organisasi yang cukup solid dan cukup besar di Indonesia.
Oleh karena itu, kata dia, NU mempunyai nilai elektoral yang penting dalam politik di Indonesia termasuk dalam pemilihan presiden.
Hal yang juga menarik dan perlu dicatat, menurut Saiful, sepanjang pemilihan presiden secara langsung sejak 2004 sampai sekarang tidak banyak tokoh NU yang menjadi calon kuat dalam Pilpres.
Meski jumlah massa NU besar secara elektoral dan pemilih dari kalangan NU banyak, namun kata dia, hal itu tidak disertai dengan lahirnya tokoh-tokoh NU yang potensial menjadi presiden.
Pada pemilihan presiden langsung 2004, kata dia, tercatat calon presiden dari NU ada Hamzah Haz yang berpasangan dengan Agum Gumelar.
Baca juga: KH. Imam Jazuli: Kenapa Ngaku NU Wajib Ber-PKB?
Pasangan tersebut, kata dia, mendapat suara yang sangat kecil dan tidak sebesar massa NU.
"Artinya pemilih NU belum tentu memilih tokoh yang berasal dari NU itu sendiri," kata Saiful.