Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 mengungkap fakta bahwa sebanyak 95 persen masyarakat menjatuhkan pilihan kepada calon karena melihat dari uangnya.
Sementara 72,4 persen lewat media sosial dan 69,6 persen karena kepopularitasan sang calon.
Baca juga: Hasbi Hasan Ditahan KPK, KY Dorong Penelusuran Rekam Jejak dalam Seleksi Calon Sekretaris MA
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana saat merilis kampanye "Hajar Serangan Fajar" dalam menghadapi pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024.
"Ternyata masyarakat masih melihat bahwa 95% masyarakat itu melihat, kalau milih orang itu yang banyak duitnya, yang banyak bagi-bagi duitnya, nah ini adalah sesuatu yang kurang sehat sebetulnya," kata Wawan, dilihat dari tayangan YouTube KPK RI, Sabtu (15/7/2023).
Wawan menerangkan, kajian tahun 2018 ini bertepatan dengan momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) saat itu.
"Hasil kajian KPK juga mengatakan bahwa pada tahun 2018 yang lalu KPK melakukan kajian bagaimana masyarakat melihat seseorang menjadi apakah itu calon legislatif dan di pilkada," terangnya.
"Ini adalah salah satu yang terjadi di masyarakat yang kita potret, walaupun memang dari modal sosial, lalu popularitas paslon itu juga menjadi satu hal yang membuat masyarakat memilih. Tapi kalau kita lihat itu angkanya itu 95% dan itu sebenarnya tidak lazim," imbuhnya.
Hasil kajian itu dikuatkan kembali oleh kajian dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), di mana praktik politik uang telah membudaya dan mengkonstruksi proses demokrasi.
Akibatnya, biaya politik membengkak, dan menjadikannya celah rawan bagi para calon peserta pemilu untuk bermain kotor dengan mencari sumber dana yang tidak baik.
Kemudian hasil survei LIPI terhadap Pemilu tahun 2019 mencatat bahwa 47,4% masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7% di antaranya menyebut bahwa politik uang adalah hal wajar.
Fakta ini sangat ironis, sebab jika sosok yang dipilih tidak berintegritas maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil kelak akan jauh dari harapan masyarakat.
Sementara hasil kajian KPK terkait politik uang menjelaskan bahwa sebanyak 72% pemilih menerima politik uang.
Baca juga: Fatwa Haram Terkait Politik Uang Sudah Ada, Bawaslu: tapi Kurang Disosialisasikan
Setelah dibedah sebanyak 82% penerimanya adalah perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun.
Faktor terbesar perempuan menerima politik uang tersebut karena faktor ekonomi, tekanan dari pihak lain, permisif terhadap sanksi, dan tidak tahu tentang politik uang.
“Politik uang sama dengan sumber masalah sektor politik. Politik uang yang lebih populer dengan istilah ‘Serangan Fajar’ adalah tindak pidana yang memicu terjadinya korupsi,” kata Wawan.