News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Praktisi Hukum Kritisi Mekanisme Pencalonan dalam Kontestasi Pilpres

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Praktisi Hukum Agus Widjojanto

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjojanto mengatakan, proses politik di Indonesia yang melibatkan rakyat secara langsung, misalnya pemilihan presiden dan wakilnya, pemilihan gubernur, pemilihan bupati/wali kota, dan pemilihan anggota DPR/DPRD hingga DPD, selama ini dianggap paling ideal dibandingkan melalui sistem perwakilan yang disebut-sebut kerap terjadi politik transaksional.

"Yang jadi pertanyaan besar, sesuai Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Pemilu, sekarang rakyat Indonesia akan menghadapi Pemilu 2024. Calon presiden yang akan diusung misalnya, itu sebenarnya aspirasi rakyat atau aspirasi partai politik?" kata Agus dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (25/8/2023).

Calon mahasiswa doktor hukum Universitas Padjajaran itu mengungkapkan, Pasal 6A ayat 2 UU Pemilu menyebutkan bahwa 'Pasangan Calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik'.

Karena itu menjadi pertanyaan besar apakah memang calon yang diusung parpol merupakan kehendak rakyat sebagaimana ungkapan Vox Populi Vox Dei, yang berarti suara rakyat adalah suara tuhan.

Menurutnya, jika belajar dari gelaran pemilu pascareformasi, partai politik semestinya berpikir realistis.

Apalagi, dalam kenyataannya capres maupun cawapres yang diusung tidak sepenuhnya merupakan kehendak rakyat.

Pasangan calon yang diusung lebih justru ditentukan oleh partai politik, dalam hal ini ketua umum.

"Ini fenomena yang terjadi yang tidak bisa kita pungkiri. Mekanisme pencalonan yang terjadi saat ini membuat rakyat seolah dipaksa untuk memilih calon yang sudah ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik," ujar Agus Widjojanto.

Di sisi lain, apabila mengacu Sila Keempat Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" sebenarmya juga sudah sangat jelas.

Bahwa rakyat memberikan mandat kepada permusyawaratan perwakilan melalui sebuah Lembaga Negara bernama MPR RI.

Baca juga: Habiburokhman Enggan Berandai-andai Budiman Sudjatmiko Gabung Gerindra Setelah Tak Jadi Kader PDIP

Lembaga tertinggi selaku wakil rakyat ini selaras prinsip Vox Populi Vox Dei dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Sistem perwakilan tersebut dibentuk dari awal oleh para pendiri Bangsa. Karena itu, kondisi sistem ketatanegaraan saat ini, salah satunya terkait pemilu langsung dan kedudukan MPR, merupakan pengingkaran dari Soko Guru yang telah dibangun dari awal oleh pendiri Bangsa," ucapnya.

Agus Widjajanto lantas menyinggung temuan penelitian William J. Chambliss dan Robert B. Seidman, bahwa hukum suatu bangsa tidak bisa dialihkan begitu saja kepada bangsa lain (The Law Of Non Transferability of Law).

Berikut Ubi societas ibi ius ala Cicero, bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Dengan kata lain, masyarakat suatu bangsa memiliki karakteristik yang berbeda.

"Indonesia sebagai bangsa, juga mempunyai karakteristik sendiri dalam hukum walaupun diakui bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang kaya, bertalian dengan adanya kesenjangan antara das Sollen dengan das Sein," ujarnya.

Pria asal Kudus Jawa Tengah itu menambahkan, Indonesia mempunyai karakter sendiri yang mengacu pada budaya bangsanya sebagai pengejawantahan seluruh nilai yang dikandung sila-sila Pancasila.

Termasuk di dalamnya budaya musyawarah dan mufakat, budaya gotong-royong, budaya guyub.

Namun sayangnya, budaya tersebut tidak lagi tampak dari isi pasal dalam UUD 1945 yang telah diamandemen beberapa kali.

Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung oleh rakyat justru mengajarkan masyarakat akan budaya kebebasan menyerupai sistem demokrasi liberal.

"Benar apa yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya dalam jangka yang disadur oleh Pujangga penutup Ronggo Warsito, bahwa jaman ini adalah jaman Kolo Bendu, jaman yang tidak teratur, jaman edan yang hanya berpegang pada kepentingan politis dalam semua lini, layaknya sistem liberal," pungkasnya.

Caption: Praktisi Hukum Agus Widjojanto. / istimewa

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini