"Mengapa? Karena di Aceh kita jadi Aceh, di Medan kita jadi Medan, dan di Maluku kita jadi Maluku," katanya.
"Di Bali kita jadi Bali, dengan demikian kalau pemilu ini dilaksanakan dengan baik. Kami berharap bahwa Indonesia yang beragam adalah Indonesia yang final. Bhinneka Tunggal Ika," imbuh Dahlan.
Lebih jauh, Dahlan mengatakan mengawasi media mungkin lebih mudah namun mengontrol 15 ribu media sosial dengan 220 juta internet user adalah pekerjaan yang tidak mudah.
Dia menyerukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar membuat aturan agar internet active user bisa termonitor.
"Mungkin saya perlu jelaskan begini, tahun 2010 Tribun sudah bertransformasi ke digital. Kami hampir 100 juta aktif user di dalam sebulan di Tribun. Itu artinya hampir separuh dari total jumlah pemilih," papar Dahlan.
"Tantangan kita adalah 220 juta internet user dan 15 ribu media di seluruh Indonesia, mungkin mengontrol media lebih gampang karena ada kantor, alamat, dan terdaftar dewan pers," lanjutnya.
Mengontrol media juga lebih gampang juga karena wartawan dididik untuk bertanggung jawab kepada publik.
Pria yang sudah 20 tahun lebih menjadi wartawan ini meyakini dedikasi seorang jurnalis dengan keterampilan untuk memastikan bahwa yang diberitakan adalah fakta.
"Kalau media harus ada di kota itu, dan ada di Indonesia. Tapi kalau sosial media itu tidak harus selalu ada di Indonesia. Bisa di Singapura dan Eropa bikin akun menyasar pembaca Indonesia," katanya.
"Makanya ini mohon izin bagaimana KPU membikin aturan kalau kampanye pemilu hanya periode tertentu. Tapi kalau tim suksesnya ada di luar negeri bagaimana itu," pungkas Dahlan.