News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Eks Hakim Konstitusi Palguna Yakin Putusan MKMK Bakal Sesuai Fakta

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat ditemui di Kantor MK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). I Dewa Gede Palguna yakin putusan Majelis Kehormatan Mahakamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim bakal sesuai fakta yang ditemukan.

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yakin putusan Majelis Kehormatan Mahakamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim bakal sesuai fakta yang ditemukan.

Hal ini disampaikan Palguna jelang putusan MKMK terkait laporan dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim, yang akan dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore nanti.

"Saya percaya dengan Prof Jimly berdasarkan pengalaman pribadi saya, baik sebagai kolega beliau maupun beliau sebagai promotor saya dan juga Prof Bintan Saragih yang selama ini kita kenal sangat santun, dan belum pernah kita dengar ada cacat pribadi. Demikian juga kolega saya dulu, Pak Doktor Wahiduddin Adams," kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Selasa (7/11/2023).

Baca juga: Jelang Putusan MKMK, Ada Rencana Demo, Polisi Kerahkan Ribuan Personel Amankan Aksi

"Saya yakin putusannya akan sesuai dengan fakta," sambung mantan Ketua MKMK itu.

Palguna mengatakan, ia tidak mengetahui apakah putusan terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu akan sesuai dengan harapan para pelapor atau tidak. Terlebih, menurutnya, bukan tugas MKMK untuk memastikan hal tersebut.

Adapun Palguna menjelaskan, tugas MKMK adalah mencari fakta untuk membuktikan kebenaran ada atau tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan hakim konstitusi.

Baca juga: PSI Yakini Integritas MKMK soal Putusan Etik Hakim MK: Apapun Hasilnya harus Diterima Semua Pihak

"Saya enggak tahu apakah itu sesuai dengan harapan pelapor atau tidak. Kan bukan itu tugasnya Majelis Kehormatan. Tugasnya adalah menemukan fakta atau bukti ada atau tidaknya pelanggaran. Kemudian menjatuhkan sanski terhadap pelanggaran itu sesuai dengan bukti dan fakta-fakta yang ditemukan," ucapnya.

Lebih lanjut, Palguna menekankan, MKMK harus mengemukakan putusannya secara transparan dan tanpa tunduk pada tekanan publik, jika memang ditemukan adanya fakta-fakta yang sesuai dengan apa yang dilaporkan.

Sehingga nantinya, tinggal ditentukan jenis pelanggaran kode etik atau pedoman perilaku mana yang dilanggar sekaligus diklasifikasikan apakah termasuk pelanggaran ringan, sedang, atau berat.

Kemudian, sesuai dengan jenis pelanggaran itu, nantinya ditentukan juga sanksi apa yang pantas dijatuhkan kepada para hakim konstitusi terlapor.

"Jika memang fakta-fakta itu mendukung demikian," ujar Palguna.

"Jadi secara independen saja, enggak usah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi merasa tertekan oleh tekanan publik. Dihadapi sesuai dengan fakta saja, nanti kemudian paparkan fakta itu dalam pertimbangan-pertimbangan putusan secara sistematis, sehingga publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi," sambungnya.

"Dan setelah itu menurut saya, apapun putusannya tidak akan menjadi masalah. Jadi enggak perlu ngarang-ngarang atau tidak perlu juga membuat-buat yang memang sesungguhnya tidak ada."

Baca juga: Jelang Putusan Etik Hakim MK, Anies Baswedan Berharap MKMK Junjung Etika dan Objektivitas

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.

MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu dibacakan, pada Selasa (7/11/2023).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini