TRIBUNNEWS.COM - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) sekaligus penggugat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres, Brahma Aryana mengungkapkan gugatan yang dilayangkannya bukan demi menjegal Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Dia menegaskan gugatan terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu semata-mata demi kepastian hukum dan legitimasi Pemilu 2024.
"Kepentingan saya cuma ingin memastikan kepastian hukum dan legitimasi Pemilu 2024 agar tidak lemah dan semakin lemah," katanya ketika dihubungi Tribunnews.com, dikutip pada Kamis (9/11/2023).
Sosok yang akrab disapa Bram itu pun menjelaskan pula legal standing dirinya sebagai pemohon dalam gugatan tersebut yaitu sebagai anggota Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
"Posisi saya selain sebagai mahasiswa, juga sebagai pemantau pemilu di KIPP. Saya kira klir ya mengenai independensi sebagai pemantau," ujarnya.
"Sebagai pegiat pemilu, saya sangat menjaga independensi KIPP," sambung Bram.
Baca juga: 3 Alasan Brahma Aryana Gugat Putusan MK 90, Singgung Ketidakpastian Hukum hingga Konflik Kepentingan
Lebih lanjut, Bram mengungkapkan ada tiga alasan utama sehingga menggugat putusan 90 tersebut.
Pertama, dia menyebut ada frasa dalam putusan tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum yaitu soal syarat untuk dapat mengajukan menjadi capres-cawapres adalah kepala daerah yang dipilih lewat pemilihan umum.
"Dalam frasa' yang dipilih melalui pemilihan umum' tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut," kata Bram.
Kedua, tidak tercapainya kuorum terkait komposisi hakim yang mengabulkan gugatan 90 tersebut.
"Komposisi hakim yang mengabulkan. Ada sembilan hakim MK yang menyidangkan perkara tersebut, namun hanya terdapat tiga hakim MK yang menyetujui jabatan di bawah Gubernur, sehingga amar putusan a quo tidak mencapai kuorum persetujuan yang ideal," ujarnya.
Terakhir, Bram menyebut adanya conflict of interest atau konflik kepentingan dalam putusan 90 tersebut.
Hal itu, sambungnya, terbukti lewat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 yang membuktikan mantan Ketua MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran berat.
"Artinya, dalam putusan Nomor 90 tersebut, sudah terbukti bahwa terdapat intervensi kekuasaan dalam prosesnya," tuturnya.
Baca juga: Harta Kekayaan Hakim Suhartoyo, Ketua MK Pengganti Anwar Usman, Total Rp 14,7 M, Naik Dalam Setahun