TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertanyaan mengenai bagaimana dan kemana masa depan Indonesia muncul seiring dengan dinamika politik dan ekonomi akhir-akhir ini.
Kondisi pertama yang menjadi pertimbangan serius adalah terkait proses demokrasi di era Presiden Jokowi.
Berbagai laporan dan analisis dari lembaga pemantau demokrasi, menunjukkan penurunan indeks kebebasan di Indonesia.
“Banyak analisis menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan tentang pembatasan kebebasan sipil dan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Perlu refleksi serius terhadap hal tersebut,” tutur pemerhati isu-isu global dan strategis, Prof Imron Cotan, dalam Webinar Nasional Moya Institute, Rabu (10/1/2024).
Selanjutnya adalah korupsi yang semakin merajalela. Kasus-kasus besar seperti skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara telah menjadi berita utama, menandakan bahwa korupsi masih tetap menjadi masalah besar. Apalagi, pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen, yang menyulitkan Indonesia keluar dari "middle-income trap".
Menurut Imron, integritas pemilu dan regresi demokrasi menjadi topik pembahasan penting di masyarakat luas. Persepsi publik terhadap peluang kecurangan yang mungkin terjadi semakin berkembang, yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan mengancam legitimasi pemerintahan.
Kekhawatiran yang sama juga dideteksi oleh dunia internasional, seperti tercermin pada artikel-artikel yang diterbitkan oleh The New York Times, The Guardian, dan The West Australian beberapa hari belakangan ini.
Mereka benar-benar mengkhawatirkan fenomena regresi demokrasi Indonesia, dan politik dinasti yang dinarasikan dibangun Presiden Jokowi, dengan diloloskannya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres oleh MK.
“Pelolosan Gibran Rakabuming Raka oleh MK dalam kontestasi politik, dipandang banyak pihak menciderai semangat konstitusi,” ujar Prof Imron.
Menjawab pertanyaan siapa kandidat yang akan mampu membawa Indonesia menggapai Indonesia Emas 2045, Prof. Imron tegaskan bahwa capres yang tepat adalah yang tidak punya rekam jejak pelanggaran HAM berat dan yang memanfaatkan isu primordial untuk mencapai tujuan politik.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting, Sirojudin Abbas mengatakan, bantuan sosial diduga berpeluang dipolitisasi untuk tujuan-tujuan politik pemenangan paslon.
Sirojudin juga berpendapat, pengucuran bansos dilakukan karena rendahnya penciptaan lapangan kerja dan masih jauhnya penurunan angka kemiskinan, serta akses terhadap sektor kesehatan.
Mengenai kandidat capres ideal, Sirojudin mengatakan masyarakat perlu melihat dari tiga pasangan calon itu, mana calon yang paling kecil risikonya bagi bangsa Indonesia.
“Saya kira yang tidak punya rekam jejak membangun ketegangan, termasuk identitas. Ganjar dan Mahfud relatif tidak punya catatan yang signifikan. Lebih logis pilihan disandarkan pada Pak Ganjar dan Pak Mahfud, ketimbang calon yang lainnya,” ungkapnya.