Laporan Wartawan Tribunews.com Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai Komisioner KPU melanggar kode etik.
Pelanggaran kode etik yang dimaksud, yakni karena Komisioner KPU memproses pendaftaran Giran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pengajar filsafat Franz Magnis Suseno sangat menyayangkan pelanggaran kode etik dalam proses pendaftaran Gibran sebagai cawapres.
"Etika menjadi tolok ukur yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya," ucapnya dalam diskusi bertema "Menyoal Langkah Mitigasi KPU Cegah Delegitimasi Hasil Pilpres 2024", kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/22024).
Sementara, Direktur Presisi, DR. Demas Brian W, SH, MH berpendapat bahwa keputusan KPU masih bisa berubah karena bagian dari keputusan tata usaha negara.
Baca juga: Wujudkan Pemilu Jurdil, KPU dan Bawaslu Diminta Jaga Integritas dan Netralitas
Untuk mengubahnya, kata Demas, ada dua cara yaitu adanya itikad baik dari lembaga negara itu sendiri dan melalui proses peradilan.
"Tentunya kita menginginkan KPU memiliki itikad baik setelah diberi peringatan oleh DKPP yaitu dengan memperbaiki keputusan yang telah dinyatakan cacat etik oleh DKPP," jelas Demas.
Pemateri diskusi lainnya, DR. Maruarar Siahaan, SH, MH mengakui bahwa kondisi saat ini menunjukkan sistem hukum dan peradilan di Indonesia susah dipercaya.
Menurutnya, pemerintahan sekarang terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur, namun lupa dengan sistem hukum dan peradilan yang ada.
"Kondisi ini tentunya menuntut kesadaran kita sebagai bangsa untuk memperbaikinya," imbuhnya.
Sementara itu, pembicara diskusi lainnya DR. Charles Simabura, SH, MH menuturkan bahwa pemberian Peringatan Keras Terakhir yang berulang dari DKPP menunjukkan tidak tegasnya DKPP sebagai lembaga negara.
"Peringatan Keras Terakhir yang kedua kalinya menunjukkan DKPP tidak tegas. Setidaknya sanksi berikutnya adalah pemberhentian sementara atau tetap," tuturnya.
Prof. Ikrar Nusabakti, yang hadir di acara diskusi itu mengatakan bahwa jika pemilu 2024 hasilnya tidak legitimate, yang ada dalam pikiran adalah bagaimana sebuah pemerintahan bisa terjadi atau bisa berjalan dengan baik.
"Legitimasi pemerintahan itu bukan hanya menentukan siapa pemimpinnya, tetapi kemenangan dalam pemilu itu apakah diterima oleh masyarakat atau tidak," ujarnya.
Dalam politik, tambah Ikrar, seseorang bisa saja memiliki power tetapi dia tidak memiliki otoritas politik.
Menurut dia, jika kekuasaan yang diperoleh tidak legitimate, maka rakyat akan memandang kekuasaan yang diperoleh akan dianggap tidak ada.
Sebaiknya, jika kekuasaan yang diperolehnya dengan cara yang baik, maka akan memiliki otoritas.
Menyoroti keputusan DKPP terhadap KPU, mewakili Penyelenggara, Edesman menilai persoalan etika dan dasar hukum merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan.
"Hukum tidak bisa dipisahkan dengan etika. Siapapun yang melanggar/cacat etika, pasti melanggar/cacat hukum," tegas Edesman.
Edesman juga menyoroti Mahkamah Konstitusi, lembaga yang dipercaya menjaga Marwah hukum di Indonesia, yang terbukti melakukan pelanggaran etik.
"Lalu lembaga mana lagi yang bisa dipercaya untuk menjaga Marwah Indonesia, gara-gara meloloskan Gibran." pungkas Edesman.