Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Kampanye Nasional (TKN) capres-cawapres Prabowo Subinto-Gibran Rakabuming Raka angkat bicara atas adanya penyebaran film dokumenter 'Dirty Vote' pada masa tenang Pemilu 2024.
Anggota Dewan Pakar TKN Dradjad Wibowo menyatakan nilai dari kredibilitas film yang dirilis pada masa tenang Pemilu 2024 itu adalah nol.
Sebab, tiga orang pakar hukum tata negara yang menjadi narasumber alias pemeran eksplanatori film dokumenter tersebut yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari dan Bivitri Susanti, terafiliasi dengan capres-cawapres peserta Pilpres 2024.
Ketiga orang tersebut diketahui adalah anggota tim Kelompok Kerja Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan di bawah komando Mahfud MD selaku Menko Polhukam.
Diketahui, Mahfud MD sendiri merupakan cawapres nomor urut 03, pendamping capres Ganjar Pranowo.
“Kenapa? Karena mereka tidak mendeklarasikan secara terbuka afiliasi politik dari para narsumnya,” ucap Dradjad kepada wartawan, Senin (12/2/20234).
Menurutnya, dalam tulisan ilmiah, deklarasi tentang afiliasi dan bebasnya konflik kepentingan penulis itu sangat vital.
Menurut Drajad, produser Dandhy Laksono dan ketiga narasumber film ini gagal soal kredibilitasnya.
“Alasannya ketiga narsum pada 23 Mei 2023 diangkat Prof Mahfud MD sebagai anggota tim percepatan reformasi hukum,” ucap dia.
Pada 22 Agustus 2023 Prof Mahfud MD mengumumkan tugas tim selesai.
Ini semua membuktikan adanya afiliasi antara mereka dengan Mahfud MD, baik langsung atau melalui orang dekatnya.
Karena, tidak mungkin Menko ujug-ujug mengangkat seseorang yang dia tidak kenal atau tidak direkomendasikan orang dekat-nya.
“Seseorang juga tidak mungkin menerima penugasan sbg anggota tim jika tidak ada afiliasi,” tutur Dradjad.
“Orang membuat film dokumenter kan perlu dana. Perlu menyeleksi narsum. Perlu konsultasi sana-sini,” imbuhnya.
Baca juga: Terima Surat Undangan dari KPPS, Jokowi Bakal Nyoblos di Jakarta
Dradjad pun mempertanyakan siapa yang mendanai film Dirty Vote dan siapa yang diminta rekomendasi nama-nama nara sumbernya.
Itu sebabnya kredibilitas film ini adalah nol.
“Saya malas menjawab pertanyaan soal konten. Tapi, sekadar untuk menambah bukti nol-nya kredibilitas, kontennya juga diwarnai prasangka buruk,” urainya.
Misalnya, penunjukkan Penjabat Gubernur itu adalah perintah Undang-undang. Apa mereka ingin dikosongkan tanpa Pj Gubernur?
Bukankah justru bisa memicu ketidakstabilan jika ada kekosongan kepemimpinan di banyak provinsi. Kerusakannya lebih besar jika terjadi kekosongan.
“Tuduhan politisasi bansos juga sama. Mensos-nya kan Mbak Risma, menteri dari PDIP. Kita tahu karakter dia keras. Dia kakak kelas saya satu tahun di SMA V Surabaya,” tukasnya.
“Arek Suroboyo itu kulturnya ya blak-blakan. Dengan karakter pribadi dan kultur Surabaya spt itu, jika dia merasa Presiden Jokowi melakukan politisasi bansos, dia kan bisa blak-blakan bicara. Dia juga bisa mundur. Faktanya kan tidak,” pungkas ekonom senior INDEF itu.
Baca juga: Connie Bakrie Ungkap Alasan Tolak Gabung Tim Paslon 02: Prabowo No Problem, Gibran Big No
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil merilis film dokumenter Dirty Vote.
Sutradara Dandhy Laksono mengungkap alasan film ini dirilis dimasa tenang pemilu.
Dirty Vote diketahui tayang mengambil momentum 11.11, yaitu tanggal 11 Februari bertepatan hari pertama masa tenang pemilu dan akan disiarkan pukul 11.00 WIB di kanal Youtube.
Ia menyebut, karya besutannya akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu.
Mereka beralasan rilis film "Dirty Vote" tiga hari krusial jelang hari-H pencoblosan Pemilu 2024 ini untuk memberikan edukasi kepada publik melalui ruang dan forum diskusi yang digelar.
"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara." ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/2).
Dandhy mengungkap, berbeda dengan film-film dokumenter sebelumnya di bawah bendera WatchDoc dan Ekspedisi Indonesia Baru, Dirty Vote lahir dari kolaborasi lintas CSO.
Ketua Umum SIEJ sekaligus produser, Joni Aswira mengatakan, dokumenter ini sesungguhnya juga memfilmkan hasil riset kecurangan pemilu yang selama ini dikerjakan koalisi masyarakat sipil.
Biaya produksinya dihimpun melalui crowd funding, sumbangan individu dan lembaga.
“Biayanya patungan. Selain itu Dirty Vote juga digarap dalam waktu yang pendek sekali sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, penyuntingan, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari penggarapan End Game KPK (2021),” kata Joni.
Sebanyak 20 lembaga lain yang terlibat kolaborasi dalam film ini ialah: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Film ini dibintangi oleh Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Baca juga: Rekam Jejak dan Sosok Sutradara hingga Tiga Pakar Hukum Tata Negara yang Bintangi Film Dirty Vote
Dalam film ini ketiganya mencoba mengulik sejumlah instrumen kekuasaan yang digunakan untuk memenangkan pemilu sekalipun menabrak tatanan demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil mengatakan, penjelasan ketiga ahli hukum ini berpijak atas sejumlah fakta dan data. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.