Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Film dokumenter Dirty Vote yang baru saja dirilis menjadi perbincangan di lini masa hingga memicu perdebatan disejumlah pihak.
Lalu pesan apa yang ingin diangkat dalam film di masa tenang pemilu ini?
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, film dokumenter Dirty Vote menjadi rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi Indonesia saat ini.
"Kekuasaan disalahgunakan terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri," kata dia, dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (12/2).
Dalam karya besutan Dandhy Laksono ini ada dua pesan yang ingin diangkat.
Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana proses pemilu berlangsung, apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.
Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis.
"Sikap publik menjadi penting dalam sejarah ini. Apakah praktik lancung ini akan didiamkan sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?," ujar Bivitri.
Baginya, semua orang berhak bersuara lantang dan bertindak agar republik ini terus hidup dan bertumbuh.
"Pilihan Anda menentukan,” ucap dia.
Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurutnya, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air, sehingga membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.
Dokumenter ini dibintangi Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari yang dirilis diawal masa tenang yakni pada Minggu (11/2).
Diharapkan melalui film ini akan menjadi tontonan yang rekleftif di masa tenang pemilu.