Fery juga menyindir perbaikan data KPU yang berbasis kritik masyarakat di media sosial.
Seharusnya, KPU memperbaiki data dengan cara melakukan cross check atas atas data yang dimilikinya. Menurutnya, masih ada data-data yang tidak diketahui publik. Oleh karena itu, masih banyak hal yang disembunyikan KPU.
“Masih banyak hal yang disembunyikan KPU, tidak terbuka dan sekedar minta maaf dalam konteks ini tidak cukup. Ini sudah melakukan penipuan serius di mana orang sudah deklarasi diri seolah-olah menang padahal angka sangat potensial dua putaran,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Feri juga mengungkap penggelembungan suara para paslon dalam kasus seorang pemilih mencoblos lebih dari sekali. Berdasarkan logika sengketa pemilu, pada kasus seperti ini harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Mengutip keterangan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja pada Kamis (15/2/2024), ada potensi PSU di 2.413 TPS. Dari pantauan pada tahap pemungutan suara ditemukan bahwa pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali.
Dia menyebut, jika pada satu TPS ada 300 pemilih, ada sekitar 800 ribu suara untuk satu jenis kecurangan. Ini belum termasuk orang yang punya hak pilih, tapi tidak bisa memilih, serta kecurangan yang tadak kelihatan dalam angka-angka yang masif di tengah masyarakat seperti intimidasi oleh aparat, politik uang, ancaman kepada kepala desa.
Hal lain yang patut disoroti pada Pemilu 2024 adalah ada sekitar 8 juta pemilih penyandang disabilitas, tetapi KPU hanya mencatat 1 juta orang.
Dia menilai hal ini terkait dengan kewajiban KPU menempatkan huruf braille saat pencobloan, sehingga ketika memasuki bilik suara, seorang tunanetra tidak perlu dituntun.
Baca juga: PDIP Balas Jokowi Usai Diminta Tak Perlu Teriak Pemilu Curang
Kalau ada penuntun saat mencoblos, ini akan menjadi masalah jika yang diminta bukan yang ingin dicoblos.
“Jika penuntun sebagai pelaku kecurangan, maka akan ada 8 juta suara disabilitas yang dicurangi suaranya,” pungkasnya. (*