Hanya saja, ia tak mau jemawa dan memilih menunggu hingga real count KPU mencapai 100 persen.
Cuma punya modal pas-pasan
Saat ditemui TribunJakarta di rumahnya beberapa waktu lalu, Yuni mengakui bahwa dirinya hanya maju sebagai caleg dengan dana pas-pasan alias seadanya.
Bahkan dengan modal seadanya itu, Yuni mengibaratkan dirinya seperti caleg duafa.
"Kalau saya sendiri dari partai buruh kan kita bilangnya caleg duafa ya, yang istilahnya nggak punya modal. Walaupun punya modal istilahnya dari pribadi sendiri, sebisa kita. Saya menyiasatinya dari upah saya sedikit demi sedikit," kata Yuni beberapa waktu lalu.
Yuni hanya menjalani apa yang harus dilakukan sebagai caleg dengan kemampuannya yang penuh keterbatasan.
Untuk membuat Alat Peraga Kampanye (APK) saja, Yuni hanya mengeluarkan uang kisaran Rp2,5 juta.
Uang tersebut disisihkan Yuni sedikit demi sedikit dari hasil dirinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Uang itu dipakai Yuni untuk membuat alat peraga kampanye (APK) seperti poster, stiker, gantungan kunci dan kalender.
Bahkan Yuni bercerita, sempat mendapat tindakan diskriminasi di lingkungan rumahnya.
Ia dilarang untuk melakukan sosialisasi oleh ketua RT setempat.
Hal ini dialami Yuni saat dirinya hendak melakukan sosialisasi di sekitar rumah sebelum pencoblosan.
"Jujur saja di sini, rumah saya, waktu minta izin untuk sosialisasi sama RT di sini ya dia bilang gini, 'Karena di sini sudah dukung dua caleg, jadi nggak bisa sosialisasi'," kata Yuni, Jumat (2/2/2024).
Walau demikian, Yuni tak mau ambil pusing.
Yuni sadar betul bahwa dirinya hanya memiliki dana pas-pasan, berbeda dengan caleg-caleg lainnya.