News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2024

'Jokowi Effect' Tak Mampu Dongkrak Suara PSI, Kenapa Parpol-parpol Baru Sulit Masuk ke Senayan?

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Parpol peserta Pemilu 2024.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski belum final, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa dipastikan lolos ke Senayan, jika merujuk pada real count KPU pada Pemilu 2024, Kamis (22/2) pukul 23.00 WIB.

Dilansir dari laman KPU, perolehan suara PSI sebesar 1.790.572 atau 2,54 persen.

Pencapaian PSI tersebut belum memenuhi ambang batas parlemen atau parliamentary treshold yaitu 4 persen.

PSI tidak sendiri, terdapat juga delapan partai politik lain yang gagal menembus ke senayan.

Ada Partai Perindo dengan perolehan 1,29 persen; kemudian Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dengan 0,94 persen; dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan perolehan 0,77 persen.

Selain partai di atas, Partai Buruh, Partai Ummat, PBB, Partai Garda Republik Indonesia dan Partai Kebangkitan Nusantara juga gagal lolos ke Senayan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie angkat bicara terkait hasil perhitungan cepat atau quick count Pileg 2024 partainya tak lolos Parlementery Threshold (PT) 4 persen.

Artinya dengan angka yang kurang dari 4 persen, PSI dipastikan pada Pileg 2024 tak akan ke Senayan.

Merespon hal itu, Grace mengklaim bahwa perhitungan survei internal, partainya lolos ke Senayan.

"Menurut survei internal kami PSI lolos PT 4 persen. Dan masih ada of error 1 sampai 2% untuk quick count," kata Grace kepada awak media di kantor DPP PSI, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Atas hasil Pileg 2024, Grace mengaku masih menunggu perhitungan resmi dari KPU.

Jokowi Effetc Gak 'Ngefek'?

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, ada beberapa faktor yang membuat suara PSI masih rendah, meski sudah mengidentikkan diri dengan Jokowi.

Menurutnya, minimnya figur-figur kunci menghambat suara PSI pada Pemilu 2024.

Padahal, figur kunci itu bisa dimobilisasi dan menjadi sebuah insentif politik elektoral.

"Partai politik kita kan menitikberatkan pada figur politik kunci, misalnya PDI-P ada faktor Megawati, Soekrno, ada faktor jokowi juga," kata Adi, dikutip dari tayangan Kompas TV, beberapa waktu lalu.

"Kalau melihat Gerindra pasti ada faktor Prabowo. Kalau melihat Partai Demokrat, ada faktor Pak SBY Di PSI, belum ada figur yang bisa menjadi magnet," sambungnya.

Ia menjelaskan, kehadiran Kaesang Pangarep di PSI saja tak cukup untuk mengerek popularitas partai berlambang bunga mawar merah itu.

Sebab, popularitas Kaesang tak setinggi kakaknya, Gibran Rakabuming Raka.

"Publik tidak terkonfirmasi dengan Kaesang yang popularitasnya rendah, meski anak presiden. Wajar PSI kalah populer dari partai lain," jelas dia.

Faktor lainnya menurut Adi adalah identifikasi PSI dengan Jokowi itu telat dilakukan.

Dia menuturkan, PSI hanya memiliki waktu tiga bulan setelah mengidentikkan dirinya dengan Jokowi.

"Jadi, masyarakat yang merasa kenal dan merasa puas dengan Jokowi, terlambat untuk mengetahui sebenarnya PSI itu bagian Jokowi," ujarnya.

Apalagi, PSI sebagai partai baru belum memiliki jejaring dan mesin politik yang terdistribusi secara merata.

Menurutnya, mesin politik PSI hanya ada di perkotaan dan nyaris tidak ada di pedesaan.

Kenapa Parpol baru sulit tembus ke Senayan?

Hingga kini, belum satupun partai politik baru meraih 4% suara sah nasional, merujuk penghitungan faktual KPU sampai Kamis (22/2/2024).

Berdasarkan penghitungan cepat berbagai lembaga survei, enam partai yang baru pertama kali mengikuti pemilu pada tahun 2024 ini akan gagal memenuhi syarat untuk meraih kursi di DPR.

Ambang batas parlemen dan sistem proporsional terbuka yang memicu biaya tinggi dinilai menghambat partai baru, terutama yang tidak berjejaring dengan pebisnis dan politikus besar.

Namun mengapa Partai Solidaritas Indonesia juga berpotensi gagal untuk kedua kalinya meski telah disokong keluarga Joko Widodo?

Mengapa pula suara Partai Perindo yang dimiliki konglomerat Hary Tanoesoedibjo tak kunjung melonjak setelah mereka merapat ke koalisi partai-partai lama dalam Pilpres 2024?

Dikutip dari BBC News Indonesia, Amalinda Savirani, pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, menilai parpol baru hampir mustahil mendapat kursi di DPR pada keikutsertaan pertama mereka di pemilu.

Amalinda berkata, partai baru selalu terbebani untuk memenuhi syarat administratif yang diatur UU 7/2017 tentang Pemilu.

Syarat yang disebutnya adalah kewajiban sebuah partai baru untuk memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota dan di 50% dari total kecamatan.

Pada saat yang sama, partai baru juga harus mempengaruhi warga untuk memilih mereka—sebuah tahap yang disebut Amalinda tidak kalah berat ketimbang tahap verifikasi administrasi.

Banyak partai baru, kata Amalinda, kerap gagal pada tahap turun ke masyarakat ini. Akibatnya, mereka tidak dapat meraih jumlah minimal suara untuk menempatkan kader di DPR.

“Jadi ini tentang infrastruktur partai politik yang gila, yang membutuhkan sumber daya dan jaringan yang masif,“ kata Amalinda.

“Verifikasi bisa diakali, tapi representasi itu berat untuk partai baru. Seberapa besar kemampuan mereka mengedukasi dan mempengaruhi warga di akar rumput untuk memilih mereka?“ ujarnya.

Merujuk tren pada beberapa pemilu terakhir, Amalinda menyebut partai baru harus bersiasat dengan perspektif jangka panjang.

Setelah pemilu pertama, partai baru bisa berfokus untuk menjalin relasi dengan warga demi melampaui ambang batas parlemen.

“Aturan ambang batas parlemen 4% hampir tidak mungkin dicapai oleh partai baru. Tapi kalau proyeksinya adalah target 10 sampai 20 tahun, sambil melakukan pengorganisasian yang mendalam, syarat itu mungkin dicapai,“ kata Amalinda.

Penuturan Amalinda sesuai dengan situasi yang terjadi di Partai Buruh. Partai yang secara resmi dibentuk pada Oktober 2021 ini diproyeksi sejumlah lembaga survei akan mendapat suara sekitar 0,6% dari total suara nasional.

Salah satu hambatan terbesar Partai Buruh adalah pemilu yang berbiaya tinggi, kata Ilhamsyah, Kepala Badan Pemenangan Pemilu di partai yang menyebut diri sebagai representasi kelas pekerja tersebut.

Ilhamsyah mencontohkan, Partai Buruh tidak bisa menempatkan saksi di setiap tempat pemungutan suara. Karena kendala anggaran, mereka bergantung pada kader maupun sukarelawan yang bersedia mengawal penghitungan suara manual di TPS.

“Semestinya partai bisa menyerahkan sepenuhnya ke KPU untuk mendapatkan hasil penghitungan suara yang objektif. Faktanya, kami tidak bisa menyerahkan hasil pencoblosan kepada penyelenggara sehingga partai politik harus punya saksi di setiap TPS untuk mengawal suara,” kata Ilhamsyah.

“Ini tantangan yang begitu berat bagi Partai Buruh untuk menempatkan saksi di semua TPS yang berjumlah 823 ribu di seluruh Indonesia. Kami memaksimalkan saksi dari internal, kader atau relawan yang tidak dibayar.

“Targetnya kami bisa mengawal 60% TPS, tapi realitanya jauh dari harapan, kami hanya menempatkan saksi di kurang dari 100 ribu TPS,” ujar Ilhamsyah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini