TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menyebut sejumlah tokoh yang dianggap sebagai negarawan, karena mengakui kekalahan.
Pakar hukum tata negara itu gamblang menyebut nama yaitu mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo, Ahok, hingga Megawati Soekarnoputri.
"Contoh tokoh-tokoh gentleman yang siap terima kekalahan dalam pemilu pasca keputusan KPU dan tidak mengajukan perkara ke MK," bunyi keterangan dalam akun Twitter pribadi Prof Jimly yang dikutip Rabu 6 Maret 2024.
Ia menjelaskan, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke) ketika dikalahkan Joko Widodo (Jokowi) di Pilkada Jakarta secara legowo menerima kekalahannya dan tidak membawa ke MK.
Pun demikian dengan sosok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menerima telah dikalahkan Anies Baswedan.
Selain Ahok dan Foke, kata Jimly, Presiden kelima Megawati Soekarnoputri berbesar hati menerima kekalahan dari SBY.
Postingan Jimly di media sosial X atau Twitter ini kemudian direspons netizen. "Berarti Prabowo tidak gentleman ya, Prof?"
Jimly langsung merespons pertanyaan itu dengan mengapresiasi Prabowo Subianto yang turun meredakan kemarahan pendukungnya meskipun sempat mengajukan gugatan Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau soal Prabowo di pilpres 2019, meski mengajukan perkara ke MK, tapi setelah dinyatakan 'kalah', Prabowo tampil aktif di depan massa untuk meredakan kemarahan dan menenangkan rakyat pendukungnya yang kecewa. Ini juga penting sebagai cermin sikap kenegarawanan,” paparnya.
Jimly sendiri tidak menyinggung Anies dan Ganjar Pranowo, dua capres di Pilpres 2024 yang hingga kini masih tertinggal dari Prabowo di perhitungan Real Count KPU.
Meski tidak menyebut nama, sejumlah pihak menilai, pernyataan Jimly soal kenegarawanan ini menyindiri Ganjar dan Anies Baswedan.
Baik Ganjar maupun Anies menilai Pilpres 2024 sarat kecurangan dan mendorong digunakannya Hak Angket DPR untuk mengulik kecurangan Pemilu 2024.
Bahkan, Ganjar, beberapa waktu lalu, mengatakan, jika DPR tidak siap dengan hak angket, Ganjar mendorong penggunaan hak interpelasi atau rapat kerja.
Ganjar ketika itu juga menunjukkan ribuan pesan yang masuk ke telepon selulernya terkait dugaan kecurangan tersebut.
Menurut Ganjar, DPR tidak boleh membiarkan ketelanjangan dugaan kecurangan Pemilu 2024.
“Tapi kalau ketelanjangan ditunjukkan dan masih diam, fungsi kontrol gak ada. Kalau saya, yang begini mesti diselidiki. Dibikin pansus, minimum DPR sidang, panggil, uji petik lapangan,” ujar Ganjar, beberapa waktu lalu.
Pengajuan hak angket terkait kecurangan Pemilu 2024 yang dilakukan Ganjar disetujui Anies Baswedan.
Menurut Anies, hak angket akan membuka peluang dugaan kecurangan Pemilu 2024 dapat berproses lebih lanjut hingga DPR.
Timnas AMIN pun siap terlibat bersama untuk memberikan data-data penunjang.
Jimly Sebut Hak Angket Gertakan Politik, Ganjar: Ini Bukan Gertakan
Jimly dalam sebuah kesempatan mengatakan, hak angket tidak berpengaruh karena digulirkan dalam waktu yang terbatas, yakni 8 bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang.
"Hak angket itu kan, hak interpelasi, hak angket, penyelidikan, ya waktu kita 8 bulan ini sudah enggak sempat lagi, ini cuma gertak-gertak politik saja," kata Jimly saat ditemui di kantor MUI, Jakarta, Februari lalu.
Merespons hal itu, Ganjar Pranowo mengatakan, pihaknya tidak pernah menggertak siapapun ketika mengusulkan agar DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Hal ini merespons pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie yang menilai, wacana menggulirkan hak angket hanyalah gertakan politik.
Ganjar menegaskan, pihaknya menyampaikan usulan hak angket dugaan kecurangan Pemilu dengan cara yang biasa saja.
"Tapi kami tidak pernah menggertak. Kami menyampaikan cara yang biasa saja," kata Ganjar saat ditemui di Rumah Aspirasi Relawan Ganjar-Mahfud, Menteng, Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Kendati demikian, mantan Gubernur Jawa Tengah ini mempersilakan semua pihak untuk berkomentar, termasuk Jimly.
"Ya Pak Jimly boleh berkomentar, dia warga negara kok," ujar Ganjar.
Lagipula, kata Ganjar, hak angket merupakan langkah konstitusional untuk melakukan penyelidikan.