TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembagian bantuan sosial yang dilakukan secara massif oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di basis pasangan calon (paslon) nomor urut 3 dinilai menjadi upaya by design untuk mengalihkan preferensi pemilih ke paslon nomor urut 2.
Pernyataan itu, disampaikan ahli sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Suharko, sebagai saksi ahli dalam sidang permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan Paslon 3, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Menurut Suharko, secara legal formal Presiden Jokowi memang bukan petahana. Tetapi ketika berpihak dan membiarkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden (Cawapres), maka secara riil politik Jokowi memastikan posisinya sebagai petahana.
Baca juga: Kapolri Bakal Dihadirkan Jadi Saksi di MK? Jenderal Listyo Sigit: Alhamdulillah, Kalau Diundang
"Apalagi Prabowo Subianto sebagai capres paslon 2 yang berpasangan dengan Gibran, juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan di pemerintahan Presiden Jokowi dan tidak mengundurkan diri," kata Suharko.
Ia mengatakan, ketika Jokowi turun membagikan bantuan sosial (bansos), maka secara persepsi publik dia adalah petahana. Ketika pembagian bansos dilakukan secara massif di beberapa provinsi yang menjadi basis paslon nomor urut 3, seperti di Jawa Tengah, maka hal itu menjadi pesan simbolik kepada pemilih untuk mendukung paslon nomor 2.
Seperti dipaparkan Tim Kuasa Hukum paslon nomor urut 3, dalam periode 22 Oktober 2023 – 1 Februari 2024, Presiden Jokowi berkunjung ke 30 kabupaten/kota dan membagikan bantuan sosial (bansos).
Baca juga: Sudirman Said Sebut 4 Menteri Jokowi Wajib Bersaksi dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024 di MK
Sekitar 50 persen kunjungan Presiden Jokowi berada di Provinsi Jawa Tengah, dengan total bantuan senilai Rp 347,2 miliar. Angka tersebut belum mencakup Bantuan Modal Kerja Pedagang.
"Itu sebabnya, saya sampaikan pembagian bansos secara gencar yang dilakukan di sejumlah wilayah yang menjadi basis paslon 3 itu ada by design oleh Jokowi sebagai penguasa dan petahana untuk mengubah preferensi pemilih agar mendukung paslon 2," ujar Suharko.
Dia menjelaskan, dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut Indonesia, secara legal formal Presiden adalah sosok power full. Dengan endorsement Jokowi ke paslon 2, kepuasan masyarakat kepada kondisi ekonomi di pemerintahan Jokowi mengalir mendukung paslon nomor urut 2.
Apalagi dengan tidak adanya kekuatan penyeimbang atau oposisi, karena hampir semua kekuatan politik di negara ini, bahkan di DPR sudah mendukung Jokowi, maka tidak sulit bagi dia untuk mendesain calon tertentu atau arah dukungannya pada paslon tertentu di Pilpres 2024.
"Jokowi adalah orang jawa, seringkali menggunakan pesan yang simbolik dan bagi orang Jawa bisa menangkap bahwa arah dukungannya ke paslon 2," ungkap Suharko.
Mirip Orde Baru
Guru Besar Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) itu juga menilai Presiden Jokowi menerapkan bentuk-bentuk developmentalisme yang mirip Orde Baru, yang mengekspos pembangunan sebagai keberhasilan pemerintah.
Pembentukan opini publik dengan memanfaatkan media massa, bahkan media sosial terkait pembangunan infrastruktur besar-besaran hingga hilirisasi dan penguatan deregulasi tak jauh berbeda dengan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto yang mengekspos keberhasilan pembangunan.
"Apakah ini sama dengan Orde Baru? Saya kira itu sama, karena upaya pembangunan infrastruktur, hilirisasi, hingga penguatan deregulasi merupakan bentuk-bentuk dari new developmentalisme dan ini wacana yang terus ditampilkan media kita jadi ada kemiripan dengan orde baru," kata Suharko.