Dia menambahkan, variabel ketokohan Presiden Jokowi juga mempengaruhi afiliasi pemilih yang mengalihkan dukungan kepada paslon 2.
Hal itu juga sesuai dengan variabel ketokohan Prabowo Subianto yang pada pemilu 2019 yang menang di Aceh dan Sumatera Barat, namun pada 2024 beralih ke paslon nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
"Ketika Prabowo bergabung dengan Jokowi bahkan menjadi capres yang diusung Jokowi, maka pemilih mengalihkan dukungan kepada paslon 2," ungkap Suharko.
Baca juga: PDIP Sebut Keterangan Saksi Ganjar-Mahfud di MK Akan Jadi Materi Hak Angket DPR
Jokowi Desain Sistematis Menangkan Paslon 2 di Pilpres 2024
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai mendesain secara sistematis langkah-langkah untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor urut 2, pada Pilpres 2024.
Hal itu disampaikan ahli sosiologi, Dr Suharko sebagai saksi ahli dalam sidang permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, yang diajukan Paslon 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Menurut Suharko, argumen tentang adanya desain sistematis yang dilakukan Jokowi untuk memenangkan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran), didasari pada dua variabel, yaitu kondisi ekonomi nasional dan kepemimpinan atau ketokohan Presiden Jokowi.
Selain itu, tim pemenangan paslon 2 sangat memahami variabel yang akan bekerja untuk mempengaruhi perilaku pemilih pada rangkaian pemilu 5 tahunan di Indonesia sejak 1999 hingga 2019.
"Selama mengamati proses pemilu 2024, saya melihat bahwa Presiden Jokowi menempati posisi dan peran sangat sentral dalam mempengaruhi hasil Pemilu 2024, sehingga saya berkesimpulan Presiden Jokowi memiliki suatu desain sistematis untuk memenangkan paslon 2 yang didukung menjadi penggantinya," kata Suharko.
Dia menjelaskan, variabel kondisi ekonomi nasional terlihat dari beberapa faktor. Pertama, kondisi ekonomi yang ditandai pertumbuhan ekonomi relatif stabil, ketiadaan gejolak ekonomi yang berarti, atau ketiadaan krisis ekonomi pada umumnya yang membentuk persepsi publik dan menjadi dasar pertimbangan bagi pemilih menentukan pilihannya pada calon petahana.
"Ketika tidak ada krisis atau gejolak ekonomi, maka akan memberikan persepsi bahwa kondisi baik-baik saja maka pemilih cenderung memberikan suara kepada petahana," ujar Suharko.
Kedua, kondisi ekonomi yang sebaliknya, biasanya akan mengantarkan persepsi dan pertimbangan pemilih kepada calon penantang petahana.
Dalam kaitan ini, meskipun perekonomian Indonesia terdampak serius pandemi Covid-19 pada tahun 2020 hingga awal 2023, pemerintahan Presiden Jokowi relatif mampu menangani dan melakukan pemulihan pasca pandemi
"Hal ini juga terkonfirmasi melalui sejumlah survei politik tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah yang mencapai 70% lebih yang berarti kinerja pemerintah dianggap baik," ungkap Suharko.
Sedangkan variabel kepemimpinan atau ketokohan, lanjutnya, memiliki pengaruh yang kuat dan langsung pada perilaku pemilih. Hal itu, antara lain terlihat dari hasil pemilu Pilpres secara langsung sejak 2004, yang mengkonfirmasi kecenderungan tersebut, yang tampak nyata dari 2 kali masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Jokowi.