Jika pembagian bansos itu berhasil, ujarnya, maka kepuasan terhadap petahana (Jokowi) terkonversi kepada setengah petahana Gibran.
Baca juga: Bukan Omon-omon, Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras Bergambar Prabowo-Gibran ke MK sebagai Alat Bukti
Tidak Fair
Hamdi mengatakan, penggelontoran bansos dari sisi politik menjadi masalah, karena menjadi tidak ‘fair’ bagi paslon lain. Pasalnya, pihak yang memiliki otoritas atas mekanisme, besaran, kapan dan bagaimana didistribusikan adalah petahana.
“Apakah etis, karena oposisi tidak punya kesempatan yang sama?” lanjutnya.
Sementara itu, dari sisi pematangan demokrasi, pembagian bansos menimbulkan semacam ketergantungan di antara konstituen. Selain itu, penggunaan bansos bisa memanipulasi pemilih.
Pada kesempatan itu, Hamdi menekankan, bahwa ada kontribusi faktor lain sebesar 71% yang mempengaruhi preferensi pemilih menentukan pilihan pada capres-Cawapres, seperti penilaian atas kandidat, seperti ada atau tidak aspek positif, komunikasi, juga masalah faktor sosiologis, kesukuan, dan pertemanan.
Faktor-faktor inilah, menurutnya, yang membuat paslon nomor 02 Prabowo-Gibran kalah di Sumatera Barat dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Lonjakan Nilai Bansos
Sebelumnya, Guru Besar Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Didin S Damanhuri menyebut terjadi lonjakan nilai bansos menjelang Pilpres 2024, padahal angka kemiskinan turun, inflasi terkendali di bawah 3% dan dampak El Nino mulai berakhir pada November 2023.
Padahal, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati alasan menaikkan volume bansos adalah untuk menjaga inflasi dan menanggulangi dampak El Nino.
Selama pemerintahan Presiden Jokowi nilai bansos yang digulirkan cenderung meningkat.
Normalnya, ujar Didin, nilai bansos akan menurun sesuai kondisi perekonomian yang membaik layaknya tahun 2020 hingga 2023 ada penurunan, namun tiba-tiba tahun 2024 melonjak jumlahnya nyaris Rp 500 triliun atau tepatnya Rp 496,8 triliun. Jumlah ini ditambah automatic adjustment sekitar Rp 50 triliun, sehingga total lebih dari Rp 500 triliun.
“Ini adalah jumlah penggelontotan bansos tak berpreseden sejak 1998 atau sepanjang sejarah,” ujarnya.