Ketua DPP Gerindra Desmond J Mahesa mengakui partai-partai politik saat ini terkuasai oleh penguasa. Proses pengawasan menjadi jauh lebih lemah dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Disini kalau kita bicara kekuasan anatominya Pak Jokowi ini jauh lebih berkuasa dibanding zaman SBY. SBY menaati hukum, ini nabrak kemana-mana," kata Desmond ketika dikonfirmasi Tribunnews.com.
Desmond J Mahesa menegaskan tidak ada oposisi murni saat ini. Gerindra, katanya, akan mendukung pemerintah bila kebijakan tersebut pro rakyat.
"Tapi tidak mendukung membabi buta," kata Desmond J Mahesa.
Dua tahun pemerintahan Jokowi, Desmond melihat DPR tidak pernah bersikap atas kebijakan presiden yang diduga melanggar sumpah jabatan. Parlemen juga tidak menggunakan hak bertanya.
"Parlemen tidak pernah bersikap, bersikap kan meluruskan agar secara konstitusi presiden melanggar sumpah jabatan. Ini kan negara hukum bukan kekuasaan," kata Wakil Ketua Komisi III DPR itu.
Sejumlah program pemerintah pun kini hanya dikritisi oleh Gerindra dan PLS. Contohnya, Perppu Kebiri serta UU Tax Amnesty.
Desmond J Mahesa menuturkan Koalisi Merah Putih (KMP) masih solid di masa awal Presiden Jokowi berkuasa. Pada akhirnya, KMP dihancurkan.
"Dihancurkan Golkar dan PPP. Itu melemah akhirnya Golkar menyelamatkan diri dan tersandera, konflik PPP dimainkan, parlemen sehat jadi tidak ada lagi," sebut Desmond J Mahesa.
Desmond kembali mencontohkan situasi politik di Golkar yang dipimpin Setya Novanto. Mantan Ketua DPR itu banyak mengakomodir kubu Ancol dalam kepengurusannya.
Padahal, kubu Ancol yang dahulu dipimpin Agung Laksono telah menyatakan dukungan kepada Presiden Jokowi sejak awal.
Desmond pun menganggap Novanto hanya Ketua Umum Golkar secara status saja.
"Berhadapan penguasa dengan raja tega, ya dihancurkan dan dikuasai. Golkar ketuanya bukan Novanto, ketua bayangan ya Jokowi. Jadi (Golkar) manut saja," kata Desmond J Mahesa.
Desmond mengingatkan partai politik seharusnya menjalankan konstitusi dengan baik. Tugas DPR yakni pengawasan, legislasi dan budgeting tidak boleh tersandera kekuasaan.
Desmond menuturkan DPR akan menjadi sasaran pertama amarah masyarakat bila terjadi sesuatu yang negatif di Indonesia. Sebab, kontrol pemerintah berada di tangan parlemen.
"Parlemen lemah. Kalau disalahkan kan parlemen duluan karena tidak punya kontrol," tutur Desmond J Mahesa.
Politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai sikap parlemen yang menyetujui program pemerintah merupakan konsekuensi dari keberhasilan Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi melakukan konsolidasi dengan partai-partai politik yang beruju g mendapatkan dukungan yang kuat.
"Logis, ketika di pendukung (DPR) tidak mengritik," kata Anggota Komisi XI DPR itu.
Eva juga menduga situasi 'adem' di parlemen dalam menyikapi program pemerintah karena partai-partai politik sedang menghadapi persoalan intern. Apalagi, sulit mengkritik Presiden Jokowi dengan dukungan masyarakat sebanyak 60 persen.
"Energinya berat kedalam dari pada keluar," kata Eva Kusuma Sundari.
Pendapat Eva diamini Peneliti Formappi Lucius Karus yang menilai situasi internal parpol rawan konflik. Beberapa parpol selama setahunan terakhir terlibat dalam konflik yang melahirkan kepengurusan ganda.
"Ini membuat soliditas visi dan misi partai-partai sulit dikonsolidasikan di parlemen. Bagaimana mau melakukan pengawasan maksimal kepada pemerintah, jika di internal mereka saja masih belum bersatu?" tanya Lucius.
Persoalan itu, kata Lucius membuat partai politik menjadi mudah untuk dipengaruhi atau diintervensi. Dan kekuatan untuk itu ada di pemerintah.
Oleh karena itu pemilihan pimpinan partai-partai selalu dekat dengan dugaan intervensi pemerintah.
"Calon pimpinan yang didukung pemerintah umumnya akan bisa menang. Dan sebagai balasannya, partai-partai seolah-olah berada di bawah bayangan pemerintah," kata Lucius.
Sementara Eva Kusuma Sundari menilai dukungan kuat masyarakat kepada Presiden Jokowi membuat politikus menjadi kikuk.
"Kalau kita berhadapan dengan rakyat jadi tidak nyambung," kata Eva.
Eva juga melihat situasi politik di era Jokowi berbeda dengan SBY. Saat itu, geliat oposisi yang diwakili PDIP dan Gerindra menarik perhatian masyarakat.
"Rakyat tidak terlalu mendukung (SBY), tidak kayak Jokowi di internasional kuat. Sekarang partai-partai enggak berani dengan masyarakat," tutur Eva kepada Tribunnees.com.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini ikut berkomentar mengenai situasi parlemen. Ia mengingatkan salah satu tugas parlemen yakni mengawasi pemerintah.
"Tetapi bukan berarti semua langkah pemerintah harus dianggap salah. Konsekuensi partai berkoalisi dengan pemerintah ya harus mendukung kebijakan pemerintah," kata Jazuli Juwaini ketika dikonfirmasi Tribunnews.com.
PKS, kata Jazuli, sebagai partai oposisi juga bersikap objektif. Bila program pemerintah baik maka PKS akan mendukungnya.
Sebaliknya, PKS akan mengkritisi bila tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
"Begitupun PKS berharap kepada fraksi-fraksi yang berkoalisi dengan pemerintah harus objektif jangan asal dukung. Kalau ternyata tidak pas ya harus berani mengkoreksi agar parlemen sebagai suatu lembaga bisa jelas peran dan fungsinya," kata Jazuli Juwaini.
Sedangkan, pengamat politik Hendri Satrio melihat keberhasilan Presiden Joko Widodo melakukan konsolidasi dengan partai-partai di parlemen tidak dimanfaatkan pemerintah. Padahal, parlemen sangat bersahabat dengan pemerintahan Jokowi-JK.
Hendri Satrio megungkapkan mayoritas semua program pemerintah tidak dipandang negatif parlemen.
"Tapi ini tidak berbanding lurus dengan Jokowi. Terlalu lamban padahal sudah didukung parlemen. Contoh Menteri Perdagangan yang baru belum bisa menurunkan harga pokok dan Mentan belum bisa menunjukkan program ketahanan pangan," kata Hendri Satrio kepada Tribunnews.com.
Hendri menuturkan Pemerintahan Jokowi masih memiliki waktu melakukan perbaikan yang kreatif dan inovatif.
"Kalau dikasih point dua tahun pemerintahan Jokowi ya skala 100, pemerintahan dapat skor 60-70. Jangan Nawacita jadi Tawacita yakni diketawakan," kata Hendri Satrio.