Yakni seperti UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (Pasal 28 dan Pasal 55). Pun UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
UU MD3 yang memberikan kewenangan luar biasa kepada DPR, potensial dapat “memenjarakan” siapa pun yang melakukan kecaman atau kritikan yang dianggap (secara subjektif) merendahkan martabat DPR.
Sebab argumentasi ‘demi kehormatan dewan’ tak lebih sebagai dalih hipokrit yang tendensius, subjektif dan multitafsir.
UU MD3 juga dapat dijadikan “alat pemotong lidah rakyat”.
Padahal sejatinya DPR wajib mentaati semua peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan mentaati asas equality before the law.
Para insan pers (Wartawan), lembaga swadaya masyarakat (LSM), para aktivis organisasi kemasyarakatan (Ormas), serta siapa pun harus dapat secara leluasa memperoleh, mengolah dan memberitakan informasi itu secara bertanggung jawab.
Karena hak-hak tersebut merupakan hak konstitusional yang dijamin Konstitusi Negara.
Lebih lanjut menurutnya, tiga pasal UU MD3, berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya.
Karena frasa “merendahkan kehormatan” itu bersifat relative, tentatif dan sangat subjektif.
Dan terminologi merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR itu, dapat diterapkan secara sewenang-wenang sesuai interpretasi subjektif atau sesuai kepentingan politik anggota DPR.
"Sangat mungkin terjadi, dimana ketika masyarakat melakukan kritikan atau menyampaikan aspirasi, atau memberitakan aktivitas DPR dan bentuk lain sebagai ungkapan pikiran rakyat terhadap DPR, akan dianggap merendahkan kehormatan dan oleh karenanya DPR dengan segala kewenangan yang luar biasa, dapat melakukan langkah hukum atau langkah politik untuk memproses terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dituduh merendahkan kehormatan DPR," jelasnya.
Kewenangan MKD DPR, juga berpotensi dapat menyeret siapa saja ke ranah hukum jika dianggap merendahkan martabat dan kehormatan DPR. Pasal itu tak ubahnya sebagai alat “pemotong lidah rakyat”.
Padahal kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Pers dalam UU telah dijamin haknya untuk; menegakkan nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM, mengembangkan pendapat masyarakat, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran (UU Pers).