"Apologi itu tentu saja tak berdasar. RPJMN itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Nah, RPJMN yang saat ini berlaku, yaitu RPJMN 2015-2019, ditetapkan melalui Perpres No. 2/2015 yang diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari 2015," kata dia.
Jadi, kata Fadli Zon, keliru sekali jika menyebut RPJMN yang berlaku saat ini produk pemerintahan SBY.
"Ada dua kemungkinan kenapa dalih semacam ini bisa muncul. Pertama, alasan itu dibuat sebagai kambing hitam atas ketidakberhasilan pemerintahan sekarang ini dalam merealisasikan Nawacita," katanya.
Artinya, kata Fadli Zon, sebagai sebuah visi dan misi, Nawacita memang diakui telah gagal direalisasikan.
Atau, kedua, pemerintahan sekarang ini memang tak becus menyusun rencana pembangunan, sehingga apa yang menjadi visi dan misi mereka, dalam hal ini Nawacita, tak sanggup mereka turunkan dalam wujud rencana kerja konkret pemerintah, yaitu menjadi RPJMN.
"Makanya, kita, kemudian, melihat adanya ketidaksinkronan antara apa yang dulu dijadikan jargon saat kampanye, dengan apa yang diklaim sebagai keberhasilan," katanya.
Misalnya, kata Fadli Zon, dulu jargonnya “Revolusi Mental”, tapi kemudian yang dibangun secara jor-joran justru adalah jalan tol, atau infrastruktur fisik.
"Dari 9 poin gagasan Nawacita, saya menilai sebagian besarnya gagal. Saya hanya memberikan nilai positif pada poin pembangunan daerah perbatasan. Itupun sebatas gedung yang kelihatan megah tapi tak berisi. Jadi Nawacita menurut saya tak berhasil alias gagal," katanya.
Begitu juga, kata Fadli Zon, dengan janji mewujudkan kemandirian ekonomi.
"Bagaimana bisa kita mandiri, jika yang diutamakan ekonomi impor? Kita impor beras saat petani kita sedang panen, kita impor gula saat stok gula nasional berlebih, lalu mau mandiri dari mana?" katanya.
Apalagi, kata Fadli Zon, janji Reforma Agraria 9 juta hektare, dalam empat tahun terakhir yang terealisasi, dia mencatat, hanya sekitar 700 ribu hektare saja.
"Senjang sekali antara apa yang dijanjikan dengan apa yang bisa direalisasikan," katanya.
Hal yang sama, kata Fadli Zon, juga terjadi pada poin meningkatkan daya saing di pasar internasional.
Rekor defisit neraca perdagangan yang tembus US$8,57 miliar sepanjang 2018 lalu, yang merupakan rekor defisit terbesar sepanjang sejarah kita, merupakan bukti nyata pemerintah gagal mengangkat daya saing nasional.