Ia menyarankan kepada pemerintah untuk sebisa mungkin menerima pengajuan perpanjangan SKT yang diajukan.
"Pemerintah jangan konyol. Kalau dia tidak perpanjang, bagaimana cara dia mengontrol?" ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Menurut Permendagri Nomor 57 Tahun 2017, pengajuan perpanjangan tidak serta merta akan dikabulkan.
Dalam hal ini, dokumen pendaftaran yang nantinya diserahkan FPI akan diperiksa kelengkapan dan keabsahannya oleh Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, sebelum diserahkan kepada Mendagri.
Pada akhirnya, menteri yang akan memutuskan apakah SKT akan diterbitkan atau tidak.
Menurut Margarito, pemerintah justru akan sulit memantau pergerakan ormas apabila pengajuan perpanjangan SKT ditolak.
Jika demikian, meski keberadaan mereka secara legal tidak diakui, bisa saja secara sosiologis kehadirannya masih ada di masyarakat.
Hal itu menjadi berisiko bila ormas tersebut merupakan ormas dengan aktivitas yang berbahaya. Pemerintah akan sulit menangani jika ormas tersebut dirasa perlu dibubarkan.
"Secara formil dia tidak ada, tetapi secara sosiologis hidup di tengah masyarakat. Bagaimana Anda membubarkannya?" papar Margarito.
Dengan tetap terdaftar sebagai ormas yang legal, Margarito menilai, pemerintah akan memiliki kesempatan untuk "mengenali" ormas tersebut, karena adanya kewajiban rutin bagi ormas untuk melaporkan aktivitas yang mereka lakukan.
Petisi 'tak berpengaruh'
Di media sosial, SKT FPI yang hampir kedaluwarsa ditanggapi beragam oleh warganet.
Pengguna Twitter dengan nama akun @AnneSerlo mencuit pertanyaan sindiran "FPI salah apa?" sambil menyertakan sejumlah foto sekelompok orang yang tengah terlibat aksi kekerasan.