"Kami sudah bertemu dengan mereka tapi hanya sebentar, kami belum sempat menanyakan motivasi mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora," kata Tigor.
"Upaya kami mendampingi mereka sangat dihambat, biasanya kita bisa duduk di sebelah klien jadi bisa dengar langsung apa yang ditanyakan polisi dan jawaban tersangka, tapi kami kemarin hanya bisa melihat saja. Itupun hanya kepada 2 orang yang sudah ditahan, yang 6 lagi tidak bisa kami damping." Tutur Tigor.
Mewakili tim advokasi Papua, Tigor berharap pihaknya bisa memperoleh akses seluas-luasnya dalam memberikan pendampingan.
Unjuk rasa dilarang di Papua
Untuk memastikan situasi di tanah Papua benar-benar aman dan kondusif, Kapolri dan Panglima TNI direncanakan akan berkantor di Papua selama setidaknya sepekan mendatang.
Langkah lain yang dilakukan Kapolri untuk menjaga situasi tetap kondusif oleh kepolisian adalah dengan m menerbitkan larangan melakukan aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat.
"Saya sudah perintahkan kepada Kapolda Papua dan Papua Barat untuk mengeluarkan maklumat untuk melakukan larangan demonstrasi atau unjuk rasa yang potensial anarkis," kata Tito Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Minggu (1/9/2019).
Menurut Tito, polisi sudah memberikan polisi telah memberi kesempatan kepada masyarakat Papua untuk menggelar aksi unjuk rasa dan menyampaikan pendapat sesuai Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998.
"Pengalaman dari Manokwari dan Jayapura kemarin,kita niatnya baik untuk memberi kesempatan menyampaikan pendapat, tapi kenyataannya menjadi anarkis, menjadi rusuh, ada korban serta kerusakan," kata Tito.
Seperti diketahui kerusuhan yang melanda kota Jayapura dan sekitarnya pada Kamis (29/8/2019) juga diawali dengan aksi unjuk rasa ribuan warga yang memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
Aksi unjuk rasa ini berujung anarkistis. Massa membakar ruko, perkantoran pemerintah, kendaraan roda dua dan roda empat, serta merusak fasilitas lainnya.