“Kerjasama dengan Sosial Dialog melalui berbagai kegiatan harus tetap berlanjut dengan mengadakan pelatihan-pelatihan yang bisa mendorong tumbuhnya industri hilir, contohnya perusahaan perkebunan harus mampu menghasilkan produk-produk turunan dari hasil komoditi perkebunan seperti teh dibikin sabun atau alat kosmetik, karet dsb.”, pintanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Apindo Jabar, Ari Hendarmin berpendapat “Pelatihan yang dilaksanakan oleh Sosial Dialog Jabar ini bagus untuk meningkatkan kompetensi para pekerja perkebunan dalam meningkatkan produktifitas di perusahaan” kata dia.
Kekerasan Gender Dilingkungan Kerja
Selain tema Upaya meningkatkan Efektifitas dan Efisiensi di Sektor Perkebunan, pelatihan kali ini juga mengangkat tema tentang Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence/GBV) di Lingkungan Kerja yang di pandu oleh perempuan Mahardika sebagai salah satu Mitra Proyek Kemitraan Strategis dari Mondiaal FNV.
Buruh perempuan masih menghadapi berbagai kekerasan berbasis gender di lingkungan kerja, bentuk kekerasan yang muncul pun dalam berbagai wujud. Kekerasan gender kerap terjadi akan tetapi jarang terpantau oleh pihak berwenang yang mengawasi dan juga penindakannya.
Peneliti Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati dalam pelatihan ini menekankan pentingnya sosialisasi tentang GBV secara berkala untuk membangun dialog antara Serikat Buruh, Pemberi Kerja serta Buruh itu sendiri, sehingga persoalan-persoalan berkaitan dengan GBV ditempat kerja bisa dibicarakan secara bersama.
"Selama ini banyak terjadi kekerasan dan pelecehan berbasis gender ditempat kerja dan salah satunya di sektor perkebunan. Akan tetapi hal ini seperti terabaikan, dikarenakan belum adanya payung hukum yang membicarakan perlindungan dalam aspek kekerasan berbasis gender, sehingga persoalan ini sulit ditangani," katanya.
Dilain hal, kuatnya norma budaya yang masih menempatkan perempuan di posisi marjinal dan subordinat membuat perempuan kurang bisa bersuara menyerukan haknya. Sebagai contoh adalah ketika perempuan mengalami pelecehan seksual ditempat kerja sedangkan pelaku kekerasan mempunyai kedekatan dengan penguasa, mengakibatkan banyak korban perempuan yang tidak berani untuk melaporkan, ungkapnya.
Membawa isu kekerasan berbasis gender di perburuhan menjadi sama pentingnya dengan isu upah layak. Selain itu, juga untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan nyaman bagi buruh baik perempuan dan laki-laki.
Tanggal 21 Juni 2019 yang lalu adalah momen baik khususnya bagi buruh/pekerja perempuan, dimana ILO menerbitkan Konvensi Nomor 190 Tahun 2019 (KILO 190) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Konvensi ini memuat berbagai ketentuan antara lain mengakui hak setiap orang, tanpa pandang bulu, atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk yang berbasis gender.
KILO 190 juga mencakup keselamatan dan keamanan para calon pekerja yang selama ini belum terakomodasi dengan cukup baik. KILO 190 tentunya menjadi buah manis hasil perjuangan panjang serikat pekerja dalam menuntut hak atas rasa aman dan nyaman di tempat kerja.
Setelah KILO 190 ini terbit, harapannya supaya Pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi KILO beserta rekomendasinya dan juga segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena keduanya saling melengkapi.
Selain itu, juga perlu mendorong Pemerintah mengeluarkan aturan hukum yang mengikat bagi dunia usaha dan organisasi pemberi kerja untuk menciptakan mekanisme sistem pencegahan, penanganan dan tindak lanjut pelecehan seksual di tempat kerja, disertai dengan sanksi-sankinya supaya menjadi legal formal dan ramah terhadap buruh/pekerja perempuan.
Sambil menunggu komitmen dari Pemerintah untuk meratifikasi KILO 190, pelaku usaha diharapkan untuk memulai melakukan pencegahan pelecehan seksual dengan menunjukkan komitmen dengan pemberikan pelatihan tentang GBV, dimana materi pelatihan tentang kekerasan berbasis gender dilingkungan kerja perlu diikuti, baik oleh kaum perempuan dan laki-laki.