News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

BJ Habibie Meninggal Dunia

Kisah Habibie di Penghujung Kekuasaan Soeharto (3-Habis): Tak Pernah Bisa Lagi Bertemu Sang Presiden

Penulis: Febby Mahendra
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden BJ Habibie semasa hidup

"Pak Harto menyatakan agar saya bersama beliau mengecek ulang nama-nama tersebut. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengusulkan beberapa perubahan," kata BJ Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, terbitan THC Mandiri, September 2006.

Karena ada perbedaan pandangan menyangkut beberapa nama, terjadilah perdebatan yang cukup hangat.

"Karena tidak ada titik temu, saya persilakan Pak Harto memutuskan apa yang terbaik, karena penyusunan anggota kabinet adalah hak prerogatif presiden," ujar Habibie.

Menurut rencana, esok harinya, Kamis, 21 Mei 1998, di Istana Merdeka, Presiden didampingi oleh Wakil Presiden akan mengumumkan susunan Kabinet Reformasi.

Selanjutnya, pada hari Jumat, 22 Mei, para anggota Kabinet Reformasi akan dilantik Soeharto didampingi Habibie.

Dalam kesempatan itu Soeharto menyampaikan agenda mengundang pimpinan DPR/MPR ke Istana Merdeka pada Sabtu, 23 Mei 1998.

"Ia bermaksud menyampaikan kepada pimpinan DPR/MPR untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik," kenang Habibie.

Saat itu Soeharto sama sekali tidak menyampaikan alasan mengapa mundur, padahal baru saja disusun Kabinet Reformasi. Habibie menduga dirinya ikut diminta mundur.

"Pertanyaan ini muncul karena pernyataan Pak Harto sehari sebelumnya di hadapan sejumlah tokoh masyarakat seolah meragukan kemampuan saya. Sejumlah pertanyaan berkecamuk di benak saya," katanya.

Akhirnya Habibie memberanikan diri bertanya.

"Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?"

Soeharto spontan menjawab, "Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin, atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden."

Untuk mengakhiri suasana pembicaraan yang tidak mengenakkan, Habibie mengalihkan pembicaraan terkait Ginandjar cs.

"Apakah Pak Harto sudah menerima surat pernyataan dari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan empat belas menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin?"

Soeharto mengaku sudah dengar dari Tutut, tetapi belum membaca suratnya.

"Kemudian Pak Harto mengulurkan tangannya, sebagai isyarat ia menghendaki diakhirinya pertemuan tersebut," tambah Habibie.

Mereka saling berpelukan sebelum berpisah.

"Laksanakan tugasmu dan waktu tidak banyak lagi," kata Soeharto.

Habibie meninggalkan Jl Cendana, dengan perasaan yang tidak menentu dan pikiran yang dipenuhi tanda tanya.

Di dalam mobil, dalam perjalanan ke rumah pribadinya di Kuningan, Habibie menugaskan ajudan Kolonel (AL) Djuhana menghubungi empat Menko dan semua menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin.

Mereka diminta hadir pada sidang ad hoc kabinet terbatas di rumah Habibie mulai pukul 22.00.

Baca: Sosok BJ Habibie di Mata Presdir Asuransi Prudential

Dalam pertemuan malam itu Habibie menceritakan hasil pembicaraan dengan Soeharto beberapa jam sebelumnya, kepada menko dan 14 menteri.

"Oleh karena beberapa Menteri dari Kabinet Pembangunan VII masih dibutuhkan untuk duduk dalam Kabinet Reformasi, maka atas nama Pak Harto, saya mohon agar para menteri yang telah menandatangani pernyataan bersama tersebut dapat mempertimbangkan untuk menarik kembali pernyataan mereka dan ikut memperkuat Kabinet Reformasi," kata Habibie. (tribunnetwork/feb)

Terima telepon mengejutkan

Mantan Presiden, BJ.Habibie mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR RI, di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (31/1/2011). Rapat ini membahas pengembangan dan pemanfaatan industri strategis untuk pertahanan. (Tribunnews.com/Herudin)

Sehari menjelang pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, 20 Mei 1998, Habibie tengah mempersiapkan materi untuk dilaporkan kepada Presiden.

Sesuai rencana laporan bakal disampaikan di rumah pribadi Soeharto, kawasan Jl Cendana, Jakarta, pukul 19.30 WIB, 20 Mei 1998.

"Bahan masukan saya peroleh dari Sekretariat Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar. Perlu saya sampaikan bahwa Keluarga Besar Golkar terdiri dari Golkar, ABRI, dan Utusan Daerah. Masing-masing diwakili oleh Ketua Golkar, Panglima ABRI (Pangab),
dan Menteri Dalam Negeri," tulis Habibie dalam Bab I buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Posisi Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar diberikan kepada Habibie dua kali yaitu 1993 dan 1998.

Dalam mekanisme politik saat itu, peran Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar amat menentukan.

Keputusan untuk mengangkat Habibie sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti, diterima pada 31 Desember 1997 malam hari.

Pada saat itu kondisi sedang tidak menentu akibat krisis ekonomi moneter di Thailand yang mulai terasa di Indonesia.

"Dalam keadaan yang tidak menentu dan kritis itu, timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa justru saya yang mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk menjadi Koordinator Harian tanpa pengganti," katanya.

Namun ia tidak pernah berhasil mendapat jawaban atas pertanyaan ini, begitu pula alasan dan maksud tujuannya.

Kabinet Pembangunan yang dibentuk setelah Sidang Umum (SU) MPR, merupakan hasil penilaian dan analisis presiden terpilih bersama Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

Seperti yang dialami Habibie pada 1993, bukan wakil presiden terpilih yang diajak presiden terpilih untuk bersama menyusun Kabinet Pembangunan, melainkan Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.

"Kunjungan saya ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana, adalah dalam posisi sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar, bukan sebagai wakil presiden. Kunjungan itu bersifat rutin dan biasanya dilaksanakan di tempat dan waktu yang sama," katanya.

Sewaktu Habibie sedang mempelajari laporan masukan dari tiga jalur, sekira pukul 17.00, ajudan Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita minta berbicara melalui telepon.

Dalam kesempatan itu Ginandjar melapor Menko Ekuin bersama 13 menteri yang berada dalam koordinasinya tidak bersedia lagi untuk duduk di dalam Kabinet Reformasi yang anggotanya sedang disusun.

Tetapi, sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII, mereka akan tetap melaksanakan tugas masing-masing, sampai Kabinet Reformasi terbentuk.

"Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden," tanya Habibie.

Jawaban Ginandjar, "Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."

"Mengapa harus begini," tanya Habibie kepada Ginandjar soal sikap 14 menteri itu.

Para menteri yang tidak bersedia menjabat lagi itu antara lain Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, dan Sumahadi.

Setelah menerima laporan Ginandjar, sekira pukul 17.45, ajudan melaporkan Menteri Keuangan Fuad Bawazier terus mendesak untuk melaporkan sesuatu yang penting.

Baca: Najwa Shihab Tulis Puisi Perpisahan untuk BJ Habibie: Ia Telah Menunaikan Kebaikan

"Apakah isu yang berkembang, bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai wakil presiden itu benar?"

Saya jawab, "Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!" (tribunnetwork/feb)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini