Ia kembali melanjutkan.
"Dan tadi Pak Moeldoko menyampaikan, demo bukan haram. Kok temen-temen kita sekarang lagi ditahanin di kepolisian? Bahkan ada yang lagi makan di satu restoran di-sweeping kayak gitu? Katanya nggak haram, kok ditahan?" tanya Fathur.
Kemudian, Moeldoko memberikan tanggapan.
Menurut Moeldoko, ia sangat memahami situasi psikologi pelaku demo dan aparat.
Situasi psikologi yang dimaksud adalah ketika pendemo mulai lapar, haus, tuntutannya belum ada keputusan, maka tensi akan meningkat.
Mereka akan kelelahan dan menjadi tak terkontrol.
Oleh karena itu, pada jam-jam tertentu, titik kulminasi dapat terjadi.
Begitu pula dengan aparat.
"Sama seperti itu, aparat juga manusia bung, bukan dewa dia. Punya titik kulminasi juga. Ini yang harus dipahami," respons Moeldoko.
Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru, turut menanggapi pemaparan Moeldoko.
Haris mengatakan, ada Prosedur Tetap (Protap) dari kepolisian tentang penanggulangan tindakan anarkistis.
Dalam protap tersebut, ada eskalasi dari standar internasional yang digunakan tentang penanggulangan demonstrasi.
Namun, Haris mengungkapkan, dirinya tidak menemukan itu pada penembakan gas air mata Selasa (24/9/2019) silam.
"Menurut saya, justru itu titik mulai yang membuat mahasiswa marah dan naik ke atas mobil polisi, bukan karena mahasiswa naik mobil baru direpresi," kata Haris.
Selain itu, Haris mengaku, dirinya sependapat dengan apa yang dikatakan Moeldoko tentang pembacaan situasi psikologi.
Namun, situasi di lapangan justru tidak menunjukkan hal tersebut.
"Sweeping, ada yang di Benhil, rumah makan, apakah makan dilarang dalam republik ini?" ucap Haris.
Haris mengungkapkan, dirinya sependapat jika para mahasiswa yang menjadi saksi tidak perlu didampingi di kantor polisi.
Namun, dirinya tak setuju jika kuasa hukum yang akan menjenguk tidak boleh mendampingi di kantor polisi.
"Info mahasiwa dipukuli, wartawan nggak boleh meliput, digebuki, kita perlu klarifikasi," ujarnya.
Lantas, Najwa Shihab menanyakan kesimpulan dari penuturan yang disampaikan oleh Haris.
"Saya pertama-tama mau bilang, Alhamdulillah terima kasih mahasiswa, alarm demokrasi kita hidup," jawab Haris, yang disambut tepuk tangan audiens.
"Republik ini utang budi dan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Ini merepresentasikan tujuh hal, tidak hanya masalah RUU KUHP," ucapnya.
"Kita ini ngomong Papua dituduh makar, dituduh ISIS bahkan sama Menteri Pertahanan. Bicara soal demonstrasi, katanya ditunggangi. Bicara soal RUU KUHP, dituduh LGBT. Menurut saya kita kok nggak maju? Ini kan ujian reformasi, bisa gagal ujian kita," jelas Haris.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)