Meski demikian, karakter kedua generasi itu relatif sama. Mereka lahir saat teknologi informasi berkembang pesat hingga kehidupan mereka sangat dipengaruhi gawai dan internet.
Mereka juga mengalami tsunami informasi hingga mudah terjebak pada informasi kurang dalam atau tidak lengkap.
Karakter hiperkolektif generasi Phi, lanjut Faisal, sebenarnya mirip dengan karakter generasi Alfa, yaitu generasi para pendiri bangsa Indonesia yang masa remajanya berkisar antara tahun 1900-1930.
Kedua generasi ini sadar akan posisi mereka sebagai kelompok yang berperan mengubah bangsa dan sama-sama suka berkomunitas.
Jika generasi Alfa berkumpul berdasarkan kelompok etnis atau agama, maka generasi Phi berkumpul atas kesamaan minat atau hobi.
Kondisi hiperkolektif itulah yang membedakan generasi Z Indonesia dengan negara lain.
Media sosial dan internet di negara maju membuat generasi Z makin kehilangan privasi hingga makin individualis dan stres.
Sedangkan di Indonesia, internet justru makin merekatkan mereka dan membuat lebih bahagia.
“Namun, cara berpikir generasi Phi lebih mirip dengan Angkatan 1966 yang tidak sefilosofis generasi pendiri bangsa, namun mengutamakan pergerakan dan lebih cepat,” tambahnya.
Berbagai karakter khas itulah yang membuat aksi demonstrasi mereka beberapa hari terakhir mengejutkan banyak kalangan.
Generasi Phi yang selama ini dianggap tak peduli politik dan lingkungan sekitarnya, gemar bersenang-senang dan pragmatis, ternyata peduli dengan masa depan bangsa.
Karena itu, banyak orang dari generasi sebelumnya memandang remeh aksi mereka.
Selain itu, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rahmat Hidayat menilai generasi Z Indonesia lebih konservatif dan religius dibandingkan generasi baby boomer (setara dengan generasi Beta) yang lebih liberal.
Di masa lalu, dosen di sejumlah kampus biasa dipanggil dengan sebutan Mas atau Mbak saja.