TRIBUNNEWS.COM -- Wacana soal perubahan masa jabatan presiden mendapat banyak respon dari berbagai pihak.
Salah satunya dari Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris.
Menurut Syamsuddin Haris, usulah soal perubahan masa jabatan presiden itu merupakan wacana yang keblinger.
Hal itu disampaikan Syamsuddin Haris melalui media sosial Twitter miliknya, Sabtu (23/11/2019).
Diwartakan sebelumnya, dalam rencana amandemen terbatas UUD 1945 telah muncul berbagai pendapat dari masyarakat terkait perubahan masa jabatan presiden.
Ada yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi delapan tahun dalam satu periode.
Ada pula yang mengusulkan masa jabatan presiden menjadi empat tahun dan bisa dipilih sebanyak tiga kali.
Usul lainnya, masa jabatan presiden menjadi lima tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga kali.
Menanggapi hal itu, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko mempersilakan MPR mengkaji sejumlah wacana termasuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Itu kan baru wacana ya. Wacana boleh saja. Negara demokrasi semua pandangan, pendapat terwadahi ya. Itu baru suara-suara dari masyarakat," ujar Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (23/11/2019), dilansir dari Kompas.com.