News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mantan Penasihat KPK: 2050 Indonesia Bisa Hilang dari Muka Bumi Gara-gara Korupsi

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdullah Hehamahua

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua, mengungkapkan kekhawatiran Negara Indonesia akan hilang dari Bumi pada tahun 2050 apabila tindak pidana korupsi dibiarkan.

"Dampak korupsi di dalam salah satu buku saya adalah 2050 Indonesia hilang dari muka bumi. Yang, kedua Indonesia menjadi negara-negara baru. Yang, ketiga Indonesia jadi satu jajahan negara super power," kata Abdullah, di ruang sidang pleno lantai II Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Pernyataan itu disampaikan saat Abdullah memberikan keterangan sebagai ahli untuk pemohon Permohonan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Permohonan itu diajukan oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid, dan kawan-kawan. Permohonan itu tercatat di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 70/PUU-XVII/2019.

Baca: Mantan Penasihat KPK: Keberadaan Dewas Buat Pimpinan Hanya Bekerja Seperti Event Organizer

Baca: Diperiksa KPK, Tersangka Suap Pengadaan RTH Bandung Dadang Suganda Bakal Ditahan?

Dia menyoroti sejumlah tindak pidana korupsi yang dilakukan di Indonesia.

Pertama, korupsi di bidang pertambangan yang berakibat pengundulan hutan.

"Korupsi tambang-tambang dan pengundulan hutan karena KKN antara pejabat, petugas, dengan pengusaha. Ini luar biasa. Kenapa Gubernur Riau hattrick? Tiga Gubernur ditangkap KPK, karena pengundulan hutan 3,2 hektarare per menit," ujarnya.

Kedua, dia melihat adanya jarak antara orang kaya dan orang miskin di Provinsi DKI Jakarta dan di Provinsi Papua.

Dia memprediksi adanya jarak itu dikhawatirkan akan menimbulkan gerakan sparatis.

"Gap orang miskin di Papua, Papua Barat dengan DKI. Di DKI 3,2 persen (jumlah orang miskin,-red). di Papua 30,2 persen. Jadi 3,2 dan 30,2. Orang asing memanfaatkan situasi itu. Seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka,-red). Itu karena korupsi. Fakta Mama Minta Pulsa, Freeport," kata dia.

Terakhir, dia mengkhawatirkan, negara Indonesia akan berada di bawah kendali negara super power karena besarnya jumlah utang yang harus dibayar.

"2007 utang Rp 1717 Triliun dibayar 3 termin. Setiap termin Rp 100 Triliun. Apakah tahun 2042 utang 2007 lunas, belum tentu karena ada utang 2008, 2009 dan sampai terakhir. 2019 sudah mencapai Rp 5007 Triliun," ujarnya.

Selain keharusan membayar utang, dia mengingatkan kewajiban untuk membayar bunga utang.

"Tetapi, lebih dahsyat bunga utang pada (Presiden,-red) Susilo Bambang Yudhoyono (bunga utang,-red) Rp 100 Triliun. Zaman presiden sekarang Rp 256 Triliun bunga utang. Belum buah, belum pohon, baru bunga," tuturnya.

Namun, belakangan tidak ada upaya memberantas tindak pidana korupsi. Justru, dia melihat ada upaya merusak Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), selaku lembaga yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Salah satu cara dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Hanya Kitab Suci Al-Quran, Bibel, dan Taurat yang tidak dapat diubah. Undang-Undang dapat diubah. Niat yang dimulai dari 2005 sampai sekarang ternyata niat bukan untuk memperbaiki KPK, tetapi justru merusak. Kerugian konstitusional diakibatkan oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 berkaitan erat dengan tindak korupsi," tambahnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini