TRIBUNNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, meminta presiden mundur dari jabatannya itu sah secara konstitusi, namun, tidak boleh ada paksaan di dalamnyaa.
Hal itu diungkapkan Refly dalam Webinar Nasional bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).
Pernyataan Refly tersebut menanggapi soal ancaman teror dalam diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu.
Refly menegaskan, pembahasan mengenai pemakzulan atau impeachment presiden tidak bisa dilarang.
Sebab, impeachment diatur dalam konstitusi, yakni dalam UUD 1945 Pasal 7A.
"Kalau kita tidak boleh membicarakan tentang pemakzulan atau impeachment ya buang saja ayat-ayat konstitusi Pasal 7A, yang mengatakan proses pemberhentian presiden yang mengatakan syarat-syarat untuk memberhentikan presiden," ungkap Refly, seperti dikutip dari kanal YouTube-nya, Selasa (2/6/2020).
Selain pemberhentian, lanjut dia, ada juga pengunduran diri.
Untuk pengunduran diri ini, menurut Refly, merupakan hak subjektif pejabat yang bersangkutan.
Baca: Soal Diskusi Pemecatan Presiden, Refly Harun Ungkit Turunnya Soekarno dan Gus Dur: Murni Politik
"Kalaupun ada sedikit imbauan atau sebuah dasar hukum maka kita bisa merucut pada Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001."
"Yakni tentang etika berbangsa dan bernegara, di mana di situ salah satunya dikatakan kalau pejabat negara tersebut sudah tidak mendapatkan kepercayaan rakyat, mbokya dengan sukarela mengundurkan diri," papar Refly.
Namun, menurut Refly, hal itu tidak hanya berlaku untuk presiden saja, melainkan juga untuk semua pejabat negara.
Lantaran dasarnya adalah etika, maka tidak boleh ada paksaan di dalamnya.
"Makanya dalam twit saya mengatakan, meminta presiden mundur itu sah secara konstitusional dan sah dalam alam demokratis."
"Tapi memaksa presiden mundur, itu yang tidak boleh," ungkap Refly.
Baca: Seminar Pemakzulan Presiden Dibatalkan, Refly Harun Soroti Kebebasan Berpendapat: Ada Suasana Horor
Bedakan Diskusi dan Gerakan Pemberhentian Presiden
Refly Harun mengatakan, dalam era reformasi, masih ada pihak yang sulit membedakan antara wacana dan gerakan.
Padahal, antara wacana dan gerakan merupakan dua hal yang berbeda.
Wacana hanya sebatas membahas mekanisme pemberhentian presiden.
Sementara gerakan lebih kepada tindakan kelompok besar untuk memberhentikan presiden.
"Jadi orang kadang-kadang men-judgement sesuatu padahal sesuatu itu adalah wacana, dan wacana itu bahkan wacana akademik," ungkap Refly, seperti dikutip dari kanal YouTube-nya, Refly Harun, Selasa (2/6/2020).
Refly menegaskan, pembahasan mengenai pemakzulan atau impeachment presiden tidak bisa dilarang.
Sebab, impeachment diatur dalam konstitusi, yakni dalam UUD 1945 Pasal 7A.
Baca: Refly Harun Buka Suara soal Narasumber di Balik Diskusi Pemecatan Presiden: Memang Tidak Aneh-aneh
Dia menjelaskan, dengan adanya pasal impeachment tersebut, maka sah saja kalau mendisukusikan hal-hal terkait pemberhentian presiden dan wakil presiden.
Namun, lanjut dia, hal itu harus dibedakan dengan gerakan.
"Kalau gerakan lain lagi masalahnya, dalam hal ini saya harus menggarisbawahi tiga hal tentang gerakan."
"Gerakan yang sifatnya konstitusional, gerakan inkonstitusional, gerakan yang ekstrakonstitusional," jelas Refly.
Lebih lanjut Refly menjelaskan terkait gerakan konstitusional dan inkonstitusional
Gerakan konstitusional adalah gerakan warga negara yang menginginkan presiden diberhentikan.
Yakni tindakan sekelompok orang yang mendatangi DPR untuk menyatakan alasan-alasan mengapa presiden harus berhenti.
Kelompok tersebut juga mendorong DPR untuk menggelar hak angket.
Baca: Sempat Puji Perekonomian Pemerintahan Jokowi, Refly Harun: Ketika Hadapi Corona Rasanya Kelabakan
Sementara gerakan inkonstitusional adalah tindakan kelompok besar yang menggalang kekuatan besenjata kemudian membuat taktik memecah belah, disintegrasi.
Maka sesuai dengan KUHP, tindakan tersebut merupakan makar.
Refly mengungkapkan, membahas mengenai impeachment presiden sama saja membahas mengenai fakta sejarah.
Pasalnya, dalam sejarah, di Indonesia telah terjadi impeachment terhadap presiden sebanyak dua kali.
Pertama, pemakzulan yang dilakukan terhadap Presiden Soekarna pada 1967.
Kedua, pemakzulan terhadap presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada 2001.
"Saya berharap tidak ada lagi cerita presiden dijatuhkan di tengah jalan."
"Kenapa begitu? Karena maksud kita mengubah konstitusi agar tidak terjadi lagi peristiwa Bung Karno tahun 1967 dan peristiwa Abdurahman Wahid 2001 yang dijatuhkan dengan subjektifitas politik," ungkapnya.
Simak video lengkapnya:
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)