Namun, hingga kini belum ada payung hukum untuk memberi keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Padahal sudah tiga tahun proses RUU PKS ini berjalan, tetapi substansi dari RUU tersebut masih belum dibahas.
Sebab, selalu ada berbagai alasan dari pihak penolak yang menghambat prosesnya.
"Alasan-alasan mereka tidak masuk akal, tidak sesuai dengan inti RUU PKS."
"Padahal intinya ini memberikan keadilan bagi korban yang selama ini sulit didapatkan," ungkap Dinov.
Contohnya, yang sempat menjadi kontroversional pada akhir 2019 lalu, RUU PKS diangap melegalkan seks bebas.
Baca: Komisi VIII Ingin RUU PKS Hanya Atur Pencegahan Kekerasan Seksual dan Rehabilitasi Korban
Selain itu, pihak penentang juga menganggap draf RUU PKS mengadopsi dari ideologi budaya barat.
"Jadi RUU ini ada bukan dari barat, bukan dari kita mengadopsi dari luar negeri."
"Tapi RUU ini ada justru kita melihat situasi korban yang ada di Indonesia," tegas Dinov.
Berdasarkan pengalaman dari pendamping korban, Dinov menuturkan proses menghadapi kasus tanpa adanya payung hukum sangat sulit.
Terlebih, di Indonesia stigma terhadap perempuan korban kekerasan seksual masih sering terjadi.
Seperti anggapan perempuan tidak pantas keluar malam dan berhak dilecehkan karena memakai pakaian minim.
"Kasus kekerasan seksual bukan dianggap melanggar kemanusiaan, jadi seperti dianggap melanggar norma dan budaya saja," jelas Dinov.
Padahal, sudah jelas hukuman membayar denda kepada korban atau menikahkan korban dengan pelaku, tidak akan menyembuhkan trauma korban.
Oleh karena itu, dengan adanya payung hukum, maka diharapkan korban kekerasan seksual bisa pulih dan kembali beraktivas lagi.
(Tribunnews.com/Inza Maliana)