News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polemik Pengangkatan 2 Eks Tim Mawar Jadi Pejabat di Kemenhan, Jokowi Dinilai Ingkar Janji

Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Daryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo (Jokowi) 26 September 2020

Keduanya yakni, Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan.

Selain itu, Brigjen TNI Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan.

Ketua Umum Partai Geridnra membacakan surat rekomendasi pasangan bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan Muhammad dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo di kediaman Prabowo Subianto, Jakarta, Senin (20/7/2020). Partai Gerindra bersama PDI Perjuangan resmi mengusung pasangan Muhammad dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan pada pilkada serentak 2020. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Berdasar catatan KontraS, Yulius dan Dadang sempat dihukum bersalah melalui Mahkamah Militer Tinggi (Mahmiliti) II Jakarta.

Yulius dihukum 20 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI.

Sementara itu, Dadang dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan.

Namun, dalam putusan tingkat banding, pemecatan terhadap Yulius dianulir hakim, sehingga keduanya masih menjabat aktif sebagai anggota militer.

Fatia menilai, bergabungnya kedua anggota eks Tim Mawar tersebut, ditambah Prabowo menjadi Menhan, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme vetting dalam tubuh pemerintah saat ini.

Pengangkatan ini dianggap menambah daftar panjang bahwa saat ini lembaga-lembafa negara diisi oleh orang-orang yang memiliki masalah dalam pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Baca: Usman Hamid Sebut Dua Pejabat Baru di Kementerian Pertahanan Pernah Terimplikasi Kasus Tim Mawar

Baca: Jokowi Diminta Cabut Keppres Pengangkatan Brigjen Yulius dan Brigjen Dadang Sebagai Pejabat Kemhan

"Sulit untuk membayangkan pelaksanaan aturan hukum yang sesuai standar dan termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat."

"Sementara pejabat publik terus diisi oleh aktor yang bertanggung jawab atas kasus-kasus tersebut," terang Fatia.

Selain berpotensi untuk melemahkan manka penegakan hukum di Indonesia, Fatia menilai hal tersebut juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran hak asasi manusia.

Tak hanya itu, hal ini juga akan mempersulit upaya perbaikan hukum di Indonesia.

Seperti ratifikasi Internasional Convention for The Protection of All Persons from Enforced Dissapearance (Konvensi Anti Penghilangan Paksa).

"Akan menyulitkan secara politik dengan bergabungnya aktor-aktor peristiwa penghilangan paksa di Indonesia dalam tubuh pemerintah," jelasnya.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini