“Mas Deni (anak Suyatmi, red) ini mau melanggengkan PKI, ya?,” ujar Suyatmi.
Selain itu, saat anaknya yang lain melamar untuk menjadi polisi, langkahnya terhenti
karena sampulde semacam surat kaleng yang isinya menyebutkan kalau dia anak PKI.
Belum lagi saat Gimin akan dibebaskan, Pemuda Pancasila(PP) dan kepala desanya
tidak mau menerima Gimin di tengah masyarakat.
Gimin pun akhirnya dipindahkan ke pulau Buru dan ditahan selama 8 tahun 7 bulan.
Penderitaan-penderitaan tersebut tidak membuat Suyatmi menyerah dengan
kehidupan.
Dia pun melakukan apa saja untuk menghidupi keluarganya. Saat ditanya
apa saja yang Suyatmi lakukan, dia tidak menjawabnya karena merasa kurang etis jika
dibicarakan.
“Intinya, saya tidak malu ke siapapun, termasuk tetangga," ujar Suyatmi.
Berkat kegigihannya, kisah hidup Suyatmi ditulis di majalah Palawa terbitan Sekretariat
Bersama atau SekBer ’65 sebagai salah satu dari tujuh Srikandi yang terus berjuang
demi kehidupannya.
Banyak juga dosen dari Universitas Gadjah Mada atau Universitas Indonesia yang datang ke rumahnya untuk meminta Suyatmi bercerita tentang kisah hidupnya saat ditinggal oleh suami.
Baca: Usman Hamid: Sentimen Anti-PKI Jika Dirawat Muncul Seperti Massa Pendukung Trump
Sepeninggal suaminya, Suyatmi terus melanjutkan perjuangannya serta mengajak
anak-anaknya untuk mengurus SekBer ’65.
“Sudah amanat dari bapak,” katanya.
Kini, SekBer ’65 sudah tersebar di enam kabupaten, di antaranya Cilacap,
Temanggung, Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar.
Di Karanganyar sendiri, bupatinya dalam dua periode sudah sanggup berusaha menyelesaikan kasus ’65 dan memberikan fasilitas untuk kesejahteraan mereka. Suyatmi terus berusaha untukmemperjuangkan hak-hak yang seharusnya dia, penyintas, dan keluarga penyintas lainnya dapatkan.
Semenjak Program Peduli masuk, masyarakat mulai berhenti mengecapnya dengan
sebutan PKI. Selain itu, kebutuhan akan layanan kesehatan mereka juga mulai
terpenuhi.
Para orang tua yang sudah lanjut usia juga diberi kemudahan dalam mendapatkan
Kartu Indonesia Sehat (KIS), bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK).
Kini, rumah Suyatmi sering dipakai untuk berbagai acara warga, seperti
sarasehan, rapat, diskusi atau buka puasa bersama.