"Inilah yang memungkinkan kita memebangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infra struktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan," imbuhnya.
Taufiqulhadi mengungkapkan, justru UU No. 2 Tahun 2012 sering cenderung menimbulkan masalah, karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi.
"Rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat harus ganti untung. Rakyat menjadi pesimis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Ciptaker kita sesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat," ujarnya.
Kalau soal penitipan uang ganti rugi di pengadilan, tambah Taufiqulhadi, hal itu disebut konsinyasi.
"Masalah konsinyasi ini telah diatur dalam pasal 42 KUH Perdata. Konsinyasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang beperkara, misalnya jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tundih tersebut harus diselesaikan di pengadilan," ujarnya.
Menurut Taufiqulhadi, agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka Undang-Undang mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan.
"Jadi konsinyasi itu adalah melindungi kepentingan masyarakat," katanya.