Bahkan pemerintah memberikan dukungan pada usaha rakyat dengan memberikan kemudahan akses pembiayaan, akses pasar, akses pengembangan usaha, akses perizinan, dan akses rantai pasok bagi UMKM.
Penguatan dan proteksi bagi pelaku UMKM dalam berusaha ini, kata dia, ditujukan untuk dapat menggiatkan usaha masyarakat yang mandiri dan berdaya saing.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak-hak pekerja termasuk pesangon ketika mengalami PHK, meskipun selama ini banyak perusahaan yang tidak menjalankan UU Ketenagakerjaan dengan membayar pesangon 35 kali gaji.
Pada umumnya ada dua pertimbangan perusahaan melakukan PHK, pertama perusahaan itu bangkrut dan kedua adalah mereka melakukan alih teknologi.
Setiap pengusaha yang melakukan PHK karena sebab pertama maka akan mengajukan pailit atau memberikan pesangon sesuai kemampuan perusahaan sehingga jarang pengusaha dapat memberikan pesangon sampai 35 kali gaji.
UU Cipta Kerja mewajibkan pembayaran pesangon sampai 25 kali gaji kepada karyawannya yang terkena PHK, dimana UU ini juga menegaskan bahwa pemerintah akan memberikan jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai, pelatihan kerja, akses informasi pasar kerja dan pasar kerja.
"Jadi (pesangon itu) kalau dihitung-hitung manfaatnya dapat setara dengan 35 kali gaji," tambah Mardiono yang juga politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Hanya saja, sejak penerapan otonomi daerah adanya perbedaan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten maupun kota dalam satu Provinsi seringkali menimbulkan konflik kepentingan di tengah-tengah masyarakat. Dan hal itulah yang kemudian menyulitkan bagi investor.
Misalnya ada pabrik di perbatasan wilayah, ada kasus yang pabrik itu sebagian masuk ke kota mana sebagian lainnya masuk ke kabupaten mana. Demikian juga karyawan-karyawannya yang berasal dari tempat yang berbeda. Dalam satu wilayah UMR nya bisa berbeda-beda, makanya ini ditarik ke level Provinsi.
Lantas mengapa UU Cipta kerja ini menuai polemik? Mardiono mengatakan karena sebagian masyarakat mendapatkan informasi yang tidak akurat mengingat luasnya cakupan pembahasan dalam UU ini.
Disinformasi inilah yang kemudian ditunggangi kepentingan tertentu untuk melakukan penolakan terhadap UU tersebut. Pemerintah tentunya tidak akan mengambil kebijakan yang memberatkan rakyatnya sendiri, terlebih kita menganut sistem negara demokrasi.
"Di sebuah negara demokrasi itu tidak ada keputusan sebuah negara seluruh rakyatnya sami'na wa atho'na. Kecuali di negara otoriter yang mengambil keputusan secara sepihak atas keinginan pemerintah. Jadi dapat dimaklumi bahwa di negara demokrasi maka keputusan apapun pasti ada yang pro dan kontra, yang terpenting bahwa kebijakan dan keputusan yang diambil selalu dilakukan untuk kepentingan rakyat dan kemajuan negara," jelasnya.
"Saya yakinkan Omnibus Law UU Cipta Kerja itu menjadi sebuah keniscayaan dan ini tujuannya sangat baik bagi pemerintah untuk dapat lebih cepat mensejahterakan rakyat. Kalau ini tidak dilakukan maka kita akan semakin tertinggal, karena ada ribuan pasal dan ratusan UU yang tumpang tindih," tegas Mardiono.