TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga (KK) tengah menjadi pergunjingan masyarakat Indonesia. RUU ini dinilai menjajah privasi warga.
Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin memahami RUU KK memang tengah menjadi perbincangan di tengah masyarakat pada saat ini.
Sebetulnya RUU ini, kata Nurul, sudah diusulkan dari Februari 2020.
Ketika itu Pengusul RUU memberikan pandangan dan alasan mereka mengusulkan RUU tersebut.
Setelah dirundingkan di dalam Rapat Baleg, draft RUU awal mengalami perubahan dan itu yang kemarin dibahas kembali oleh DPR.
"Namun setelah mengalami perubahan draft, saya melihat bahwa RUU masih belum ada urgensinya untuk dibahas lebih lanjut," ujar Nurul kepada Tribun, Sabtu (14/11/2020).
Hal itu sudah disampaikan oleh Nurul Arifin pada Rapat Baleg hari Kamis (12/11/2020) lalu.
Baca juga: Pro Kontra RUU Larangan Minuman Beralkohol dan RUU Ketahanan Keluarga
Ada beberapa poin digaris bawahi, mengapa RUU KK ini belum diperlukan.
"Yang pertama, RUU ini dianggap terlalu mengatur lingkup privasi keluarga," kata Nurul.
Terutama, menurut Nurul, pada Bab VII draft RUU KK, memuat aturan mengenai Sistem Informasi Ketahanan Keluarga yang di dalamnya memuat ketentuan bahwa Pemerintah akan menyelenggarakan sistem berisi data-data keluarga.
"Dalam data ini, salah satunya memuat data permasalahan keluarga, ini ada pada Pasal 54. Pasal ini membuat Pemerintah betul-betul akan memiliki data-data privat dari setiap keluarga," tutur Nurul.
Yang kedua. Selain Pemerintah, Bab IX dari RUU ini juga membenarkan jika nanti masyarakat dapat ikut campur dalam membangun Ketahanan Keluarga.
Bahkan frasa yang digunakan pada Pasal 57 huruf (1) adalah "Masyarakat memiliki tanggung jawab dan kesempatan yang terbuka untuk berperan dalam Pembangunan Ketahanan Keluarga".
"Perlu dicatat, masyarakat terdiri dari organisasi sosial kemasyarakatan hingga badan usaha," imbuh Nurul.