Setibanya di Libya, dia tidak menemukan ada jaringan internet di kantor tempat penampungan sementara. Bahkan ia tidak bisa menghubungi keluarga karena tidak boleh pakai handphone (Hp). Beli kartu Hp pun susah.
Martini menuju ke kantor agensi di Libya untuk menanyakan pekerjaan apa yang akan ia lakukan. Setelah mendengar jawaban dari pekerja di kantor itu, Martini kesal karena telah ditipu.
“Saya bingung di Libya. Saya pergi ke kantornya. Saya tanya lah sama orang di sana, kerjaannya apa.”
“Terus dia bilang begini, ‘emang kamu nggak dikasih tahu sama sponsor?’ Saya tahunya sebagai waitress. Dia bilang sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Itu katanya sudah ada dalam surat kontrak di situ,” tuturnya.
Ia pun menolak pekerjaan tersebut karena tidak sesuai dengan bidang yang ia cari dan sepakati saat di tanah air bersama badan penyalur tenaga kerja luar negeri yang memberangkatkannya.
“Saya nggak mau. Saya katakan, ‘saya bukan mencari kerja menjadi PRT (pembantu rumah tangga). Tapi saya mau menjadi waitress. PRT itu tidak sesuai kontrak.”
“Saya nggak mau tanda tangan kontrak itu,” kisahnya.
Jauh dari negera sendiri dan tidak memiliki alat komunikasi, membuatnya terpuruk di negeri orang yang kemudian baru ia ketahui tidak termasuk negara ujuan bagi para buruh migran yang diatur dalam Undang-undang.
Seakan doanya terjawab, setelah dua hari, ada seorang pencari tenaga kerja datang untuk mencari pekerja untuk merapikan toko Kitchen Set. Dia pun mengamini tawaran itu, meskipun tidak dibayar, yang penting bisa berinternet.
“Saya bilang begini sama orang itu, saya maunya itu hanya internet. Soalnya saya belum menghubungi ibu saya yang lagi sakit. Merasa iba, ayahnya bilang ya sudah,” ucapnya.
Dari situlah, ia mulai melaporkan kasus yang ia alami ke KBRI dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Saat melapor ke KBRI, Martini mengaku sempat kecewa dengan respon dari petugas yang menerima laporannya. “Pihak KBRI cuman bilangnya gini, ‘Ya sudah mbak, katanya kerja saja kali aja rezeki lo itu. Kalau misalnya mau jadi ART nggak mungkin saya melapor ke KBRI. Sudahlah kalau nggak mau bantu,” tegasnya.
Respon baik ia terima saat melapor ke SBMI. Ia ditanya berada di mana.
Dari SMBI, ia baru mengetahui dia berada di negara yang dilarang menjadi tempat tujuan buruh migran.